Cerpen
Anik. .
BULAN sabit yang menggantung di langit malam pada penghujung bulan Desember kali ini, turut menyumbang
Karya Nanda Winar Sagita
BULAN sabit yang menggantung di langit malam pada penghujung bulan Desember kali ini, turut menyumbang rasa kalut di tengah ketakutan seorang gadis remaja yang juga bernama Bulan. Masih terngiang jelas kalimat terakhir yang baru saja diucapkan oleh ayahnya, sebelum laki-laki tua itu berniat untuk kembali ke hutan, tetapi keburu mati karena kepalanya tertembus peluru di depan gubuknya sendiri. “Tidurlah, Nak,” titah laki-laki tua itu. “Seorang perempuan yang bernama Anik akan datang menjemputmu.”
Bulan seorang tunawicara. Dia amat bingung karena tidak ada penjelasan yang lebih rinci tentang sosok perempuan yang dimaksudkan oleh ayahnya tersebut. Setelah memberikan sepotong roti tawar dan mengucapkan salam perpisahan, laki-laki tua itu meninggalkan Bulan di sebuah kamar gelap dan melangkahkan kaki keluar gubuk. Tampaknya dia sudah tahu niatnya akan gagal, sehingga tersenyum untuk terakhir kali sebelum sebutir peluru menembus batok kepalanya.
Sementara itu, setelah mendengar suara tembakan yang membunuh ayahnya, Bulan menelungkup di balik selimut sembari mendekapkan tangan di dada. Bibir mungilnya melantunkan doa yang hanya bisa dipahami oleh Tuhan. Ketakutannya semakin bertambah ketika derap langkah kaki berjalan menuju kamarnya. Dia yakin, itu adalah orang yang telah membunuh ayahnya. Dia masih terlalu muda untuk menerima nasib malang seperti anak gadis tetangganya yang jadi gila karena dinodai di tengah semak-semak oleh gerombolan pasukan bersenjata waktu perang masih berkecamuk. Tetapi bukan itu yang dikhawatirkan oleh Bulan, sebab dia belum lahir waktu peristiwa itu terjadi. Satu-satunya hal yang ingin dilakukannya adalah menunggu kedatangan Anik.
***
Bulan tidak tahu pekerjaan ayahnya. Laki-laki tua itu pulang seminggu sekali dan biasanya pada malam Rabu ketika orang-orang kampung sudah terlelap. Selama ayahnya pergi, Bulan tinggal sendirian di gubuk kecil yang tidak punya listrik itu. Setiap malam, dia hanya ditemani kerdip lilin dan sebuah bantal guling yang sering diajaknya bermain laksana boneka. Satu-satunya sumber cahaya yang menghibur adalah sinar lampu yang berasal dari rumah tetangga yang menyusup lewat celah-celah dinding berlubang. Tatkala pagi, Bulan harus menanak nasi dengan menggunakan kayu bakar. Terkadang dia juga memanggang terasi dan merebus daun singkong atau buah leunca yang tumbuh di halaman belakang.
Sebenarnya para tetangganya bukanlah orang yang sombong dan kikir. Salah satu keluarga yang cukup berada pernah menawarkan bantuan agar Bulan dimasukkan ke sekolah dengan biaya yang ditanggung penuh oleh mereka. Tetapi dengan congkak, ayahnya menolak usul itu. Menurutnya, hidup dengan pertolongan orang lain adalah aib yang tercela dan tidak termaafkan. Oleh karena itu, semua orang menjadi enggan untuk bersikap iba, terlebih lagi setelah mereka mendengar isu yang tidak sedap tentang laki-laki tua itu.
Ada banyak kasak-kusuk yang beredar. Sebagian orang percaya bahwa laki-laki tua itu adalah yang paling bertanggungjawab atas tragedi kebakaran yang melanda sebuah bank bertahun-tahun lalu. Ada juga yang mengatakan bahwa dia telah membunuh seorang janda kaya sebelum merampas kehormatan dan menjarah hartanya. Banyak orang juga meyakini bahwa dia adalah gembong narkoba yang paling dicari-cari oleh polisi. Namun terlepas dari semua tuduhan itu, kebenaran yang sesungguhnya memang masih belum terbukti. Orang hanya bisa menduga-duga agar punya alasan untuk membencinya.
Bulan tidak pernah tahu gosip tentang laki-laki tua tersebut, karena sepanjang hari hanya mendekam di dalam gubuk kecil itu. Ayahnya menjadi sumber informasi tunggal sekaligus benteng yang membatasinya dari dunia luar. Di samping bisu, Bulan adalah seorang gadis remaja yang buta huruf. Kalaupun ada yang mengajaknya ngobrol, dia cuma bisa diam dan senyam-senyum.
***
Suara tembakan itu membuat semua orang panik. Mereka menutup pintu rapat-rapat dan hanya berani mengintip lewat lubang kunci. Perang yang berkepanjangan telah membuat mereka jera. Bahkan orang yang sudah akrab dengan pertumpahan darah pun tidak mau lagi mengangkat senjata. Kematian yang selama ini diidam-idamkan sebagai jalan pintas untuk bertemu Ainul Mardhiah ternyata tidak selalu mengantarkan mereka ke gerbang surga. Toh, mayoritas musuh yang mereka lawan juga memohon doa kepada Tuhan yang sama.
Memang sudah ada pertanda aneh ketika mereka melihat laki-laki tua yang terkenal sebagai buronan itu, tiba-tiba saja pulang ke gubuknya tanpa sedikit pun memakai atribut penyamaran. Tanpa memedulikan suara azan yang sedang berkumandang, dengan santainya, laki-laki tua itu menyapa semua orang yang dijumpainya di tepi jalan sambil bersiul dan menghisap tembakau yang dilinting dengan daun nipah. Keramahan itu tentu saja tidak biasa, sebab semua orang mengenalnya sebagai orang yang angkuh dan pantas untuk dikutuk.
Sifatnya yang menjengkelkan itu sudah ada semenjak air raya menenggelamkan seluruh harta dan keluarganya. Lebih buruknya lagi, perang yang telah berkecamuk selama puluhan tahun juga berakhir dengan kesepakatan di atas kertas. Hal itu membuatnya frustrasi. Selama ini dia memanfaatkan keadaan dengan menjadi pemasok senjata dari luar negeri untuk diserahkan kepada rekan seperjuangannya di hutan-hutan. Melalui usaha itu, tentu saja upeti yang diraupnya cukup besar sehingga sanggup untuk membangun sebuah rumah mewah di tengah-tengah kampungnya yang terpencil.
Setelah terhempas di titik nadir yang paling rendah, nasib membawanya menjadi seorang pengangguran. Tidak ada posisi kehormatan yang didapatkannya setelah perang usai, karena semua orang sadar bahwa sosok seperti dia memang tidak pantas untuk itu. Segala jenis pekerjaan kasar telah dilakoninya, mulai dari pemecah batu, penggali sumur, hingga pemanggul goni. Karena merasa gagal, pada akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke kampung dan membangun sebuah gubuk di puing-puing rumahnya yang mewah.
Sejak saat itu, dia menjadi manusia paling dibenci. Amarahnya dilampiaskan kepada Tuhan melalui umpatan-umpatan kasar yang sering dilontarkannya pada tengku-tengku di masjid dan meunasah. Semua orang juga tidak luput dari makiannya. Tetapi lama-kelamaan sudah tidak ada yang peduli lagi hingga pada suatu hari dia membawa seorang gadis kecil untuk tinggal di dalam gubuknya. Dia mengakui bahwa gadis itu adalah salah satu anaknya yang hilang ketika bencana air bah yang maha dahsyat menenggelamkan seluruh harta dan keluarganya.