Cerpen
Anik. .
BULAN sabit yang menggantung di langit malam pada penghujung bulan Desember kali ini, turut menyumbang
***
Peluh mulai bercucuran dari dahi Bulan. Suara langkah kaki itu semakin mendekat. Rasanya dia ingin menangis seperti bocah manja tatkala diterpa ketakutan. Dia mencoba menahan diri untuk tetap diam. Kakinya gatal, tenggorokannya haus dan jantungnya berdetak lebih cepat. Saat itu juga benaknya dijejali oleh kenangan yang telah tertampung di otaknya selama dia tinggal di gubuk. Laki-laki tua yang mengaku sebagai ayahnya itu bukanlah orang yang bijak. Oleh karenanya, Bulan tidak terlalu sedih atas kematiannya. Satu-satunya hal yang dikhawatirkannya adalah tidak bertemu dengan Anik.
Laki-laki tua itu memang tidak pernah memarahi Bulan. Tetapi kesalahan terbesarnya adalah tidak menunjukkan rasa kasih sayang yang manusiawi. Selama mereka tinggal bersama, gadis itu diperlakukan layaknya budak nafsu yang bertugas untuk memuaskan hasrat dan birahi liarnya. Bulan tidak pernah tahu sikap seorang ayah yang baik kepada anaknya, oleh karena itu dia menganggap semuanya berjalan dengan wajar.
Pada suatu hari, laki-laki tua yang mengaku sebagai ayahnya itu tidak pulang ke gubuk. Peristiwa itu berlangsung selama berminggu-minggu. Oleh karenanya, Bulan memutuskan untuk belajar memasak dan mencuci baju sendiri. Mulanya, dia sangat kehilangan dan kesepian. Tetapi lama-kelamaan justru merasa terganggu ketika ayahnya tersebut mulai mendatanginya tiap-tiap malam Rabu.
“Maafkan aku, Nak,” kata laki-laki tua itu. “Aku sedang bekerja keras sekarang. Aku mau kamu tetap di sini dan tidak keluar selangkah pun dari pagar.”
Bulan menuruti perintah itu. Ayahnya sama sekali tidak menjelaskan alasan memilih malam Rabu untuk berkunjung. Namun tiba-tiba saja hari ini jadwal yang sudah terhafal itu berubah. Azan magrib baru saja selesai ketika Bulan menyambut ayahnya masuk ke dalam gubuk. Ketika laki-laki tua itu menghampirinya, dia menganggap semua masih berjalan seperti biasa. Setelah selesai memainkan perannya sebagai budak, Bulan disuruh tidur dan menunggu seorang perempuan yang bernama Anik. Ayahnya lantas memberikan sepotong roti tawar dan keluar dari gubuk. Pada saat itulah suara tembakan terdengar menggelegar.
Kini Bulan tidak bisa lagi menahan ketakutan. Pintu kamarnya yang terbuat dari bambu telah didobrak oleh kaki sang pembunuh. Karena tidak ada lampu, sosok yang menakutkan itu tampak seperti siluet. Rambutnya tampak gondrong dan tubuhnya jangkung. Dia semakin mendekati tempat tidur dan menarik selimut yang menutupi badan Bulan. Gadis itu menggigil dan ingin melakukan sesuatu. Tetapi pembunuh itu membuka topengnya. Matanya berkaca-kaca dan langsung memagut Bulan sambil berkata,
“Setelah bertahun-tahun diculik, akhirnya kamu ketemu juga, Nak. Jangan takut. Saya sudah membunuh bajingan itu. Oia, kalau masih segan memanggil saya ibu, kau boleh memanggil saya dengan nama Anik.”
Desember, 2015
* Nanda Winar Sagita, kelahiran Takengon, 24 Agustus 1994. Mahasiswa FKIP Sejarah Unsyiah.