Opini
Teror Bom Sarinah
KAMIS, 14 Januari 2016, kita dikejutkan dengan aksi teror dan ledakan bom bunuh diri di kawasan Sarinah
Oleh Arief Rahman
KAMIS, 14 Januari 2016, kita dikejutkan dengan aksi teror dan ledakan bom bunuh diri di kawasan Sarinah, Jakarta, yang menewaskan tujuh orang termasuk empat pelaku, dan melukai lebih dari 20 orang lainnya. Polisi bergerak cepat. Kurang dari empat jam, Jakarta kembali aman. Lima bom berdaya ledak tinggi berhasil diamankan. Polisi juga mengamankan sejumlah orang yang diduga terlibat dalam jaringan teror Sarinah ini.
Media, baik cetak, elektronik (radio/televisi) dan siber, berlomba menjadi yang tercepat dalam menyajikan informasi seputar teror tersebut. Meski ada beberapa media yang terpaksa ditegur Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena melakukan beberapa pelanggaran. Netizen tak mau kalah. Beragam informasi, baik yang fakta hingga hoax, memenuhi ruang publik.
Berhari-hari, teror Sarinah menjadi berita utama. Mengalahkan berita penangkapan anggota DPR-RI dalam OTT yang dilakukan KPK, hingga isu saham PT Freport Indonesia yang dinilai terlalu mahal, atau kisah mundurnya Presdir PTFI, Maroef Syamsuddin.
Aceh belum sembuh benar dari penderitaan lahir dan batin buah dari konflik panjang antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Damai yang digagas elite GAM dan RI pascatsunami 2004, dengan melahirkan kesepakatan bersama (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005, baru seumur jagung.
Di dalam nanggroe (negeri) kami sendiri, masih banyak riak-riak kecil yang berpotensi mengganggu perdamaian yang sangat kami rindukan ini. Kami masih trauma dan tengah menata kehidupan dalam suasana damai ini.
Satu demi satu riak kecil di Aceh mulai dapat teratasi. Petualangan kelompok Din Minimi yang oleh Polda Aceh dianggap kriminal, telah berakhir sejak Sutiyoso, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) menjemputnya langsung di Aceh Timur, beberapa pekan lalu.
Membuat terhenyak
Tapi, teror di Sarinah membuat rakyat Aceh terhenyak dan tak dapat tidur nyenyak lagi. Bayangan ketakutan kembali menghantui, setelah sejumlah petinggi Polri dengan beragam jabatan dan posisi, melansir informasi yang “memaksa” adanya keterkaitan antara Aceh dengan para pelaku teror ini.
Ironisnya, media, bahkan media lokal di Aceh, ikut-ikutan menyebarkan informasi ini, tanpa memperhatikan dampak psikologis bagi rakyat Aceh, dan dampak ekonomisnya bagi Nanggroe Aceh yang kami cintai ini.
Yang membuat rakyat Aceh takut, pernyataan para petinggi ini dikhawatirkan akan melahirkan kelatahan-kelatahan baru dari elite di Jakarta berupa kebijakan yang tidak memihak. Mengaitkan Aceh dengan para pelaku teror Sarinah, sangat menyakiti hati rakyat Aceh yang tengah menata damai yang baru 10 tahun.
Menyebutkan salah satu pelaku teror sebagai “alumnus Jalin” (satu kawasan di pegunungan Seulawah, Kabupaten Aceh Besar), membuat mata dunia tak hanya melirik, tapi melotot melihat Aceh. Alumnus, dalam pemahaman saya, seperti yang saya lihat di KBBI online, adalah orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolahatau perguruan tinggi.
Menyebut pelaku teror sebagai alumnus Jalin, melahirkan kesan kalau di Jalin ada sebuah sekolah, atau perguruan tinggi yang melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Jika berkaitan dengan Afif, pelaku teror Sarinah, maka makna dari kata tersebut jelas menyatakan kalau di Jalin ada sebuah sekolah atau perguruan tinggi khusus teroris.
Ini menyedihkan dan membuat saya, satu dari hampir lima juta rakyat Aceh menjadi takut. Takut akan ada operasi militer lagi di Aceh, dengan alasan untuk memberantas dan tentunya menutup “akademi teror” yang ada di Jalin.
“Pria yang pakai topi, kaus hitam, dan wajahnya beredar di media itu bernama Afif. Dia pernah ikut dalam serangkaian pelatihan militer di Aceh,” kata Kapolri, Jenderal Pol Badrodin Haiti, di Mabes Polri, Jumat (15/1) dikutip sejumlah media lokal dan nasional.
Kapolri hanya menyebutkan Afif pernah mengikuti pelatihan militer di Aceh. Tempatnya, memang di Jalin, Aceh Besar. Tapi tidak disebutkan kalau dia “alumnus/alumni”. Lalu mengapa insiden teror Sarinah, dari mulai polisinya hingga pelaku yang tewas dalam insiden tersebut, oleh media, netizen, bahkan elite Jakarta dikait-kaitkan dengan Aceh?