Balee Jurong: Usut Pengawetan Harimau

LSM Balee Jurong mendesak kepolisian dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh

Editor: bakri

LANGSA - LSM Balee Jurong mendesak kepolisian dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh, mengusut tuntas kasus penemuan dua bangkai Harimau Sumatera yang telah diawetkan, di rumah penangkaran buaya milik Junaidi, warga keturunan Tionghoa, di Gampong Paya Peulawi, Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur.

“Terkait pemberitaan Serambi kemarin tentang ditemukannya dua ekor harimau sumatera yang telah diawetkan di Desa Paya Pelawi, LSM Balee Jurong meminta ketegasan Polisi dan BKSDA Aceh dalam mengusut kasus tersebut hingga ke pengadilan,” kata Edy Phona, Staf LSM Balee Jurong, Sabtu (27/2).

Menurutnya, sesuai UU Nomor 5 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, beberapa pasal yang saling berhubungan salah satunya yaitu, Pasal 21 Ayat (2), setiap orang dilarang memperniagakan, menyimpan dan memiliki kulit, tubuh dan bagian-bagiannya, diancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal 100 juta.

“Dengan ditemukannya objek satwa dilindungi (harimau sumatera yang telah diawetkan) milik Junaidi yang merupakan pemilik/sewa tempat penangkaran buaya itu, sudah memenuhi syarat adanya pelanggaran pidana terhadap kasus tersebut,” jelasnya.

Ia mengungkapkan, berdasarkan data dimiliki Balee Jurong, dari 28 kawasan estimasi kehidupan harimau di pulau Sumatera, baru 18 kawasan diestimasi (data tahun 1990). Dari data tersebut, harimau sumatera diperkirakan hanya tinggal 250 individu/ekor, termasuk di Aceh.

“Kementerian Lingkungungan Hidup dan Kehutanan juga sudah menyusun rencana aksi konservasi kehutanan dari tahun 2007 sampai 2017. Tujuannya untuk menyelamatkan spesies Harimau Sumatera yang masuk daftar merah satwa terancam punah,” paparnya.

LSM Balee Jurong juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan BKSDA Aceh terhadap penangkaran buaya di Langsa. Hal ini terlihat dari diberikannya dua ekor buaya bersamaan dengan proses pengurusan izin yang tidak sesuai prosedur. Menurut kami, kesiapan pemohon izin (Junaidi) tidak disertai pengalaman konservasi dan tenaga ahli di bidang penangkaran buaya,” tegas Edy Phona.

LSM Balee Jurong berharap, dimasa mendatang, proses pemberian izin terhadap penangkaran satwa liar dilindungi --apalagi untuk yang terancam punah-- hendaknya melibatkan multi stakeholder di wilayah kerja BKSDA Aceh.

Selanjutnya, terhadap pemindahan dan pergeseran penangkaran buaya ke tempat lain, harusnya juga diinformasikan secara luas kepada masyarakat. “Dengan sosialisasi yang baik dan menyeluruh, pemohon izin penangkaran juga akan terhindar dari jeratan hukum seperti diatur dalam UU Nomor5 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, dimana beberapa pasal telah direvisi untuk ditandatangani Presiden RI,” ujarnya.(zb)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved