Padi Ciherang tak Lagi Dianjurkan Tanam
Padi varietas Ciherang yang dilepas Menteri Pertanian (Mentan) RI pada tahun 2000
* Terserang Bakteri Hawar Daun
BANDA ACEH - Padi varietas Ciherang yang dilepas Menteri Pertanian (Mentan) RI pada tahun 2000, kini tak lagi dianjurkan untuk ditanam petani di Indonesia, termasuk di Aceh. Penyebabnya adalah karena dalam beberapa tahun terakhir mulai terindikasi bahwa varietas ini terkena gejala kresek (bakteri hawar daun), sehingga produktivitasnya menurun sampai 50 persen, bahkan ada yang gagal panen.
Data dua tahun lalu, Ciherang yang hampir berumur 16 tahun sejak dilepas Mentan ke petani masih dominan ditanam petani, tak terkecuali di Aceh, dibandingkan beberapa varietas unggul lainnya karena berproduksi tinggi, yakni mencapai 8,5 ton/ha dan rasa nasinya pun enak.
“Namun, setahun terakhir varietas Ciherang ini dilaporkan bermasalah karena rentan serangan blast dan bakteri hawar daun atau kresek,” kata Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh, Ir Basri A Bakar MSi kepada Serambi di Banda Aceh, Selasa (15/3) pagi.
Tujuan Basri A Bakar menyampaikan hal itu kepada media adalah untuk mengingatkan para petani di Aceh yang akan turun ke sawah pada musim tanam gadu (MTG) mendatang. Soalnya, berdasarkan peta sebaran varietas padi di Aceh tahun 2013, varietas Ciherang paling dominan, yakni mencapai 61,8%, menyusul Cibogo 15,5%, Inpari 13 (14,3%), Mekongga (4,5%), dan varietas lainnya sekitar 3,7%.
Namun pada tahun 2015/2016, penanaman Ciherang di Aceh menurun menjadi 44,5%, diikuti Inpari Sidenuk 10,5% Mekongga 6%, Cibogo 3,9%, Cigeulis 3,3%, selebihnya Inpari 13, hibrida, dan lain-lain.
Menurut Basri, akhir-akhir ini banyak penyuluh dan petani yang menghubungi BPTP Aceh. Mereka melaporkan kondisi padi yang terkena penyakit dan yang terbanyak justru varietas Ciherang.
Basri juga menerangkan tentang penyakit kresek atau hawar daun bakteri (HDB) yang belakangan ini menyerang varietas Ciherang. Menurutnya, HDB merupakan salah satu penyakit padi utama yang tersebar di berbagai ekosistem padi di negara-negara penghasil padi, termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan bakteri Xanthomonas oryzae.
“Patogen ini dapat menginfeksi tanaman padi pada semua fase pertumbuhan tanaman, dari mulai pesemaian sampai menjelang panen,” ujarnya. Oleh karena itu, sebagai pengganti Ciherang, Badan Litbang Pertanian telah merilis beberapa varietas unggul seperti Inpari 13, Inpari 16, Inpari 31, Inpari 32, Situ Bagendit, dan lain-lain.
Dalam upaya menyukseskan program nasional swasembada berkelanjutan, tahun ini Aceh ditargetkan memproduksi gabah mencapai 2,55 juta ton. Sedangkan capaian tahun lalu 2,38 juta ton. Strategi untuk mencapai target tersebut, antara lain, melalui introduksi benih unggul, teknik penanaman, pemupukan berimbang, pengendalian hama penyakit, dan memperkuat sistem penyuluhan kepada petani.
Menurut Basri, sistem tanam dengan jajar legowo (orang Aceh menyebutnya jurong -red) 2:1 yang dipopulerkan BPTP Aceh terbukti efektif meningkatkan produksi sekitar 20-25 persen. “Dengan jajar legowo, selain populasi tanaman mencapai 333.333 rumpun per hektare juga memudahkan dalam penyiangan gulma, pengendalian hama penyakit, dan pemupukan,” demikian Basri A Bakar.
Pakar hama dan penyakit tanaman dari Universitas Teuku Umar Meulaboh, Dr Ir Alfizar mengakui akhir-akhir ini memang ada serangan hawar daun bakteri (HDB), yaitu tahun 2010 yang paling berat dan tahun 2013 ada serangan dalam skala kecil.
Namun, perlu tetap diingat, kata Alfizar, tidak setiap tahun penyakit HDB menyerang padi. Penyakit ini punya siklus tetap menyerang tanaman padi. Untuk Desa Ajee Rayeuk, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, misalnya, siklus serangannya berkisar tiga sampai lima tahun sekali. Itu pun apabila jumlah inokulum awal banyak dan iklim sesuai dengan perkembangan penyakit tersebut.
Tapi, menurutnya, serangan hawar daun pada tahun 2010 maupun 2013 lalu lebih disebabkan kurangnya perawatan, pemberian pupuk tidak seimbang, bahkan banyak petani yang tak memupuk tanaman padinya, sehingga tanaman lemah, pertumbuhannya lamban, dan mudah terserang hama dan penyakit.
“Namun sebaliknya, di petak sawah yang saya kerjakan di Ajee Rayeuk, serangan HDB sangat kurang karena saya melaksanakan budidaya padi yang benar, sejak dari pengolahan tanah, pemilihan benih bersertifikat, pemupukan berimbang, pengairan, weeding, dan sebagainya, sehingga padi Ciherang yang saya tanam hanya sedikit yang terserang dan tak mengurangi produksi,” ujar Alfizar menanggapi pernyataan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, Ir Basri A Bakar MSi, Selasa (15/3) tentang padi Ciherang tak lagi dianjurkan tanam di Aceh karena rentan terserang HDB.