Cerpen

Cinta dalam Kardus

TANGAN mungil Nida begitu cekatan mengeluarkan barang-barang dari dalam kardus

Editor: bakri

Karena melihat kondisi desa kami yang seperti ini, Emak bekerja habis-habisan demi sekolah kami. Emak bekerja di sawah sambil meletakkan pancingan di pematang sawah. Sepulang dari sawah Emak memasak, mencuci, membereskan rumah dan mengurus adikku Ujangyang sudah erumur 14 tahun. Kami tiga bersaudara. Aku dan Nida kuliah di kampus yang sama di universitas ternama di Aceh ini. Kami semua di urus dengan sangat aik oleh Emak.

***

Tiga tahun berjalan dengan cepat. Segala rutinitas berlaludengan sangat baik. Tak terasa aku sebentar lagi akan menyandang gelar master pendidikan. Ah... bahagianya! Dua minggu lagi aku akan diwisuda.Aku kuliah di Universitas Indonesia Jakarta. Dan di acara wisudaku nanti Emak tidak bisa hadir. Ongkos dari Simeulu ke Jakarta bukanlah sedikit untuk orang seperti kami. Tapi tidak apa-apa, kupersembahkanini semua untuk makku tercinta. Tiba-tiba saja air mata mengalirbegitu deras. Aku merindukan Emak dan adik-adikku. Dua tahun tidak pulang ke kampung membuat rindu menggebu-gebu.

Aku juga rindu kardus-kardus Emak yang sudah 2tahun ini tidak kunikmati lagi. ambang dari cinta yang terkirim lewat kardus-kardus mungil. Cinta dalam kardus yang telah mengenyangkan jiwa kami dengan penuh cinta tulus seorang ibu. Doa paling mujarab yang telah dipanjatkan oleh mulut ikhlas Emak. “Mimpi yang diucap oleh mulut yang ikhlas, akan dinyatakan oleh Tuhan” itu yang kupegang saat ini.

Aku masih ingat betul ketika terakhir kali aku menerima kirimanEmak. Seperti biasanya selembar kertas terselip, namun isinya sangat lain dari biasanya. Jika putri ingin kuliah lagi, kuliahlah sungguh-sungguh. Emak masih ada tabungan untuk kuliah kalian. Jangan pikirkan uang, sal putri belajar dengan sungguhsungguh, itu lebih dari cukup untukEmak. Belajarlah Nak. Perangi kebodohan. Jangan tinggal salat dan jaga diri baik-baik. Surat itu aku baca berulangulang dengan air mata berlinang. Betapa tidak aku sangat senangkarena dapat melanjutkan endidikan lagi.

Namun di lain sisi aku juga sedih membiarkan Emak sendiri bekerja demi kami. Danbukankah itu artinya aku menambahi beban Emak lagi. Aku emang sangat ingin melanjutkan kuliahlagi, namun hal itu tidak pernah kuucapkan pada Emak. Karena aku cukup sadar diri dengan keadaan kami yang hidup sederhana. Bukankah biaya S2 itu melangit? Ditambah lagi biaya kuliah Nidayang juga tidak sedikit untuk ukuran orang seperti kami. Hidup di kota bukanlah suatu yang mudah. Jika kita tidak mempunyai uang sehari saja, hidup ini menjadi hitam putih, dan jika itu terus berlanjut, hidup menjadi hitam, gelap.

Dan game over. Surat itu kubawa sampai ke Jakarta. Kupeluk dengan sepenuh hati. Dan kubenamkan isinya ke relung hati terdalam. Ketika rasa bosan atau kelelahan datang ka rena menghadapi berbagai tumpukan tugas, surat Emak kubuka. Membaca surat itu aku menjadi semangatlagi. Bagaimana bisa aku menyianyiakan kesempatan ini yang dibeli Emak dengan peluh dan keringat yang melaut. Surat Emak tak ubahnya surat cinta untukku. Membuat kesemsem dan semangat tak perduli walau sudah ribuan kali kubaca.

Surat Emak memberiku semangat menjalani kehidupan yang keras ini. Kardus-kardus Emak telah menyihirku menjadi manusia yang giat. Manusia yang hidup penuh dengan cinta, meski tanpa seorang Ayah. Terima kasih Emak! Keinginanmu sebentar lagi akan kuwujudkan. Terima kasih, Emak!, telah mengirimi kami cinta dalam kardus. Yang lebih nikmat dari hal ternikmat di dunia ini. Motivasi yang lebih hebatdan ampuh dari celotehan para motivator di seluruh dunia. Cinta dalam kardus, aku merindukannya!

* Hasmi, kelahiran Singkil. Mahasiswa D-III Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Ubudiyah. Pernah menjadi santri di Dayah Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Kilangan, Singkil.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved