Opini
‘Watee di Gle Sapeue Pakat’
SELENGKAPNYA hadih maja yang diangkat sebagai judul artikel ini adalah Watee di Gle Sapeue Pakat
Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
SELENGKAPNYA hadih maja yang diangkat sebagai judul artikel ini adalah Watee di Gle Sapeue Pakat, Ohtron u Darat Ka Laen Keunira. Secara harfiah narit maja ini bermakna: Ketika di gunung seia-sekata, namun saat sudah turun ke darat lain tujuan. Lebih luas lagi berarti: Ketika sama-sama di gunung sama-sama sepakat berjuang dengan tujuan memerdekakan Aceh dari Indonesia, tetapi ketika sudah berada di darat sudah bercerai-berai dan punya tujuan masing-masing. Ketika di gunung sama-sama berbagi, lapar sama-sama dan kenyang pun sama-sama. Tetapi ketika berada di darat hari ini keadaan berubah total, masing-masing mengutamakan kepentingan sendiri; yang lapar laparlah dan yang kenyang kenyanglah sendirian. Demikian kira-kira gambaran makna judul artikel ini.
Kondisi semacam itu lebih transparan berkembang selama ini menjelang Pilkada Aceh 2017 mendatang, di mana para mantan pejuang kemerdekaan Aceh secara terang-terangan memaparkan agenda-agenda aktivitas yang selaras dengan judul artikel ini. Kasus penghadangan Muzakir Manaf di Abdya pada 23 April 2016 lalu; Ricuh saat rapat internal Partai Aceh (PA) ban sigom Aceh pada 9-10 April 2016 di Banda Aceh sehingga ada yang berdarah; tidak akur antara Gubernur dengan Wakil Gubernur yang separtai dan pernah sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Aceh; terbelah antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) muda dengan GAM tua; antara GAM Aceh dengan GAM Eropa; dan yang amat menarik adalah majunya empat mantan pejuang kemerdekaan Aceh berbasis GAM dalam Pilkada Aceh 2017 nanti (Zaini Abdullah, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, dan Zakaria Saman). Semua ini senafas dengan narit maja: Watee di gle sapeue pakat, oh tron u darat ka laen keunira.
Dua pejuang Aceh
Ada dua perjuangan Aceh yang ingin memisahkan Aceh dari Indonesia adalah; perjuangan gerakan Darul Islam/Tentera Islam Indonesia (DI/TII) mulai 1953 sampai 1962, dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai 1976 sampai 2005. Kedua perjuangan tersebut tampil sangat meyakinkan di mana kemudian dengan segala keterpaksaannya Indonesia harus berdamai dengan Aceh, sehingga kedua pemimpin gerakan Aceh tersebut yaitu Teungku Muhammad Daud Beureu-éh dan Tengku Hasan Tiro selamat hingga akhir hayatnya. Hal ini berbeda dengan pemberontakan di wilayah lain seperti di Jawa Barat, di Sulawesi Selatan, dan di Kalimantan Selatan yang semua pemimpin gerakannya tewas terbunuh.
Namun apa yang menjadi sorotan kita dalam kasus Aceh adalah, dalam kasus DI/TII terjadi upaya pembelokan sejumlah pejuang yang diprakarsai Hasan Saleh dengan gerakan Dewan Revolusi. Kelompok yang bergabung dalam Dewan Revolusi tersebut turun gunung dan berdamai dengan pihak Indonesia tanpa restu pemimpin mereka yang masih tetap di gunung. Efek dari langkah yang diambil oleh Dewan Revolusi tersebut berbekas lama sampai para pejuang meninggal satu persatu. Hasan Saleh, misalnya, tidak berani bertemu dengan Teungku Muhammad Daud Beureu-éh sampai beliau sudah sakit-sakitan dan renta, sehingga terkesan pula kebenaran pepatah Aceh: Watee dalam gle sapeue pakat, oh tron u darat ka laen keunira.
Kasus serupa juga banyak terjadi dalam perjuangan GAM yang ramai para pejuang turun gunung tanpa izin pimpinan. Kasus yang paling akhir terjadi adalah menyerahnya Tgk Amri bin Abdul Wahab sebagai salah seorang juru runding dari pihak GAM kepada pihak RI di saat sedang terjadi upaya perdamaian antara GAM dengan RI. Akibatnya Tgk Amri bin Abdul Wahab tidak berani tampil kepermukaan sampai hari ini, dan kebanyakan orang tidak tahu di mana ia berada.
Para mantan pejuang DI/TII banyak yang mendapatkan kesempatan hidup mewah baik melalui jalur perkebunan maupun jalur jabatan dalam pemerintahan. Para mantan pejuang GAM pun banyak memperoleh peluang kemakmuran hidup melalui penguasaan jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan seperti gubernur, bupati/wali kota, kepala dinas dan lain-lain. Sebagian mereka juga memperoleh proyek-proyek dari pemerintah, sehingga terlihat banyak yang dapat hidup mewah. Namun di balik itu semua tidak sedikit mantan pejuang tersebut yang hidup melarat ketika Aceh sudah damai sehingga mereka tidak tau berbuat apa untuk menanggung kehidupan keluarga, dan sangat minim perhatian teman-temannya yang sudah hidup sejahtera kepada mereka sehingga keadaan seperti itu menyatu dengan; Watee di gle sapeue pakat oh tron u darat ka laen keunira.
Ada satu hal yang sangat amat berbeda antara kerja nyata antara mantan pejuang DI/TII dengan mantan pejuang GAM adalah: mantan pejuang DI/TII setelah Aceh damai beramai-ramai pulang ke kampung halaman masing-masing untuk berdakwah, untuk berkhutbah, untuk mengajar anak bangsa agar bangsa Aceh menjadi pandai dan tinggi SDM-nya. Sebaliknya, mantan pejuang GAM setelah Aceh damai beramai-ramai pulang kampung dan ironisnya kemudian ada yang memukul orang sedang berdakwah, memukul khatib sedang berkhutbah, dan memplesetkan informasi kepada masyarakat ketika mereka hendak maju menjadi calon gubernur, bupati dan wali kota.
Mudah ‘dipeucocoh’
Semua kisah dan prilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan Islam di atas muncul kepermukaan di Aceh karena pelakunya mayoritas orang-orang jahil. Orang jahil sangat mudah dipeucôhcôh orang lain karena mereka tidak banyak pertimbangan dari perbuatan yang dilakukan sehingga mereka suka melakukan kerja-kerja konyol yang merugikan dirinya, merugikan orang lain, dan juga merugikan Aceh. Namun orang-orang jahil tidak pernah paham kalau kerja konyol yang ia lakukan dapat merugikan dirinya, orang lain dan bahkan yang paling fatal dapat merugikan Aceh secara menyeluruh.
Dalam sebuah perjuangan biasanya orang-orang semisal itu mudah sekali bergabung tanpa banyak perhitungan. Mereka juga berjuang sungguh-sungguh karena komit dengan nilai perjuangan untuk memerdekakan wilayah tempat ia hidup dan mencari makan, namun orang-orang seperti itu juga sangat mudah berfirqah ketika tuntutan nafsunya tidak terpenuhi. Dan sering sikap dan tindakan akhir yang diambil orang semacam itu adalah adu otot sesama sendiri, dan adu otot tersebut biasanya tidak terjadi ketika sedang berhadapan dengan musuh dan bergerilya dalam hutan. Namun ketika suasana sudah damai, musuh nyata sudah tiada, mereka semua sudah berada di kampung dan kota, di sanalah adu otot sesama sendiri sering terjadi karena tidak sama mendapatkan kuwe perdamaian. Kondisi seperti itulah yang oleh orang-orang tua Aceh dahulu kala disebut dengan: Watee dalam glé sapeue pakat, oh troh u darat ka laén keunira.
Sebagai konklusi dari artikel ini, penulis mengajak segenap ureung Aceh untuk memahami ilustrasi dan deskripsi kandungan judul artikel ini agar menjadi pengalaman yang paling berharga dalam kehidupan kita masing-masing, sehingga prilaku jahil, kerja konyol dan amalan-amalan brutal yang dapat merugikan diri sendiri dan pihak lain tidak lagi terjadi di Aceh. Para pejuang yang sudah terlanjur berfirqah-firqah tidak akan pernah jatuh sakit, tidak akan pernah menjadi hina, tidak akan pernah rugi harta benda, tidak akan pernah hilang nama baik kalau hari ini juga saling bermaafan dan bergaul seperti sediakala tanpa ada kesan perpecahan sedikitpun. Siapa dan bagaimana mewujudkan situasi seperti itu dalam kehidupang berbangsa dan berbegara di Aceh bagi bangsa Aceh hari ini kalau bukan kita sendiri.
Cobalah kita pikirkan dengan pemikiran jernih ketika hari ini kita beramai-ramai pergi ke Jakarta baik menggunakan uang Negara maupun uang pribadi hanya dengan tujuan yang satu, yaitu untuk memburuk-burukkan orang Aceh lain dengan membenarkan diri sendiri kepada orang yang dulu kita perangi dan kita musuhi. Atau dalam kasus lain setelah kita berkelahi sesama sendiri sebagai efek dari narit maja Aceh: Watee dalam glé sapeue that pakat ohtroh udarat ka laén keunira, lalu sama-sama pergi ke Jakarta untuk melapor dan minta didamaikan oleh mereka yang dulu kita perangi dan kita musuhi. Sungguh sangat luar biasa, apalagi kalau sampai kepada penentuan dan pembagian APBA antara porsi legislatif dengan porsi eksekutif tidak mampu diselesaikan di Aceh melainkan berkiblat kepada mantan musuh di Jakarta, sungguh sangat dahsyat sekali prilaku kita, dan itu menjadi perbuatan yang sangat “aneh bin ajaib binti membingungkan”. Nah!
* Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA., Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Siyasah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: diadanna@yahoo.com