Opini

Hijab tak Sekadar ‘Ija Sawak’

BERHIJAB dalam artian luas dan konprehensif bagi perempuan Muslim dewasa merupakan

Editor: bakri

Oleh Muhibuddin Hanafiah

BERHIJAB dalam artian luas dan konprehensif bagi perempuan Muslim dewasa merupakan suatu anjuran dari ajaran Islam, sebagaimana firman Allah Swt, “Wahai Nabi (Muhammad saw), katakanlah kepada para istrimu, anak-anakmu yang perempuan dan para perempuan yang beriman supaya menutup tubuhnya dengan jilbab, agar yang demikian itu supaya mereka lebih patut dikenal. Karena itu supaya mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. al-Ahzab: 59).

Bahkan, secara lebih tegas Allah Swt berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad saw) kepada para perempuan yang beriman agar mereka menahan pandangannya dan memelihara kehormatannya, dan janganlah menampakkan perhiasan (di tubuhnya) kecuali yang biasa (dan boleh) dinampakkan, dan hendaklah mereka menutup (tubuh mereka dengan) kain kerudung (hingga) ke dadanya...” (QS. an-Nur: 310.

Dua ayat di atas kemudian didukung oleh satu hadis Nabi saw yang diriwayatkan Aisyah ra ketika Asma bin Abu Bakar datang untuk menjumpai Rasulullah saw dengan pakaian yang tipis, lantas Nabi berpaling darinya seraya bersabda, “Hai Asma, sesungguhnya jika seorang perempuan sudah mencapai usia haidh (baligh atau dewasa) tidak ada yang layak terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini (sambil beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangan).”

Apa yang bisa kita pahami dari kedua sumber hukum Islam ini? Tentu yang pertama adalah perintah Allah dan Nabi kepada perempuan dewasa yang beriman untuk menutup dan melindungi seluruh tubuh (kecuali yang boleh terbuka adalah muka dan dua telapak tangan) serta kehormatan dan perhiasan yang melekat padanya dengan pakaian yang pantas. Alquran menyebutkan untuk pakaian dimaksud adalah dengan istilah jilbab atau kain kerudung yang harus dijulurkan ke bagian dada dan bagian aurat (kehormatan) lainnya.

Untuk apa ditutup dan dilindungi bagian tubuh yang dihormati itu? Tujuannya adalah sebagai identitas diri selaku perempuan beriman dan shalihah, dan tujuan lainnya adalah agar tidak mengundang gangguan. Namun tidak cukup sampai di situ. Alquran lebih jauh menambahkan bahwa ada perilaku lain yang harus dilakukan seiring berpakaian yang pantas tersebut, yaitu menahan (menundukkan) pandangan dan menjaga kehormatan diri. Jadi, berpakaian yang pantas (hijab) belumlah cukup bila belum disertai dengan menjaga pendangan dan memelihara kehormatan.

Penutup aurat
Dalam konteks kekinian, hijab dalam makna sempit sering dipahami sebagai jilbab atau kerudung (ija sawak), yaitu kain penutup bagian kepala (rambut) kaum perempuan yang sekadar disangkut (disawak) seadanya di atas kepala. Jadi dalam pemaknaan seperti ini, hijab hanyalah sebagian dari pakaian yang berfungsi sebagai penutup aurat di bagian kepala hingga bagian dada kaum perempuan muslim dewasa. Sudah menjadi suatu budaya dan tradisi keagamaan dalam masyarakat Islam dewasa ini, khususnya kaum perempuan memakai jilbab atau kain kerudung di bagian kepalanya untuk menutupi rambut hingga leher dan dada mereka.

Bahkan remaja putri, hingga perempuan dewasa terlihat sangat akrab dengan jilbab atau kerudung di kepala mereka. Apapun jenis dan model pakaian yang dikenakan, jilbab atau kerudung nyaris selalu menyertai. Sehingga bila seorang perempuan telah memakai jilbab atau kerudung sebagai pelengkap pakaian lainnya, maka perempuan tersebut dianggap telah berpakaian muslimah. Padahal tidak sesedarhana itu, pakaian muslimah bukan sekadar mengenakan jilbab atau kerudung.

Konon lagi sang cewek dengan jilbabnya tersebut masih menampakkan rambutnya, dan bahkan bentuk lekuk dadanya disebabkan jilbabnya super mini alias kecil lagi sempit. Apalagi dengan berjilbab pun rambutnya masih bisa diterawang lantaran kain jilbab yang dipakianya sangat tipis. Hal yang sama juga ketika berjilbab dengan “jilbab gaul” (jilbob), mengedepankan merek, masih ingin tampil seksi, dan pilihan warna yang norak serta menor. Akibatnya pakaian lain yang menyertainya pun ikut menyesuaikan, seperti baju dan celana yang ketat layaknya artis sinetron dan film.

Berhijab sebagaimana dimaksudkan Islam adalah bukan sekadar berjilbab atau berkerudung saja. Tetapi mencakup pengertian dari menutup dan melindungi aurat secara keseluruhan. Karena jika hijab hanya dipahami sebatas menutup bagian kepala dan dada saja, maka belumlah memenuhi substansi dari makna hijab yang sebanarnya. Mereduksi makna hijab hanya sebatas jilbab dan kerudung sudah menjadi fenomena yang lazim ditemukan dalam dunia fashion yang menjadikan kaum perempuan muslim sebagai pangsa pasar. Konon lagi, bila model dan style hijab yang dikomersilkan itu hanya mengedepankan aspek art (seni atau keindahan) semata.

Sehingga jangan heran bila komunitas perempuan yang tergabung dalam hijaber club misalnya, kesan yang paling dominan adalah glamour, mewah, mahal dan elitis. Mode, daya tarik dan keindahan menjadi sesuatu yang sangat diperioritaskan ketimbang substansi tujuan syar‘i-nya. Karena itu pantas saja unsur daya tarik dan daya pikat menjadi sesuatu yang lebih dominan terlihat pada “hijab” kaum hijaber sekarang ini. Akibatnya, hijab yang awalnya berfungsi sebagai pelindung dan pengaman kaum perempuan muslim kini justru berubah menjadi penarik perhatian lawan jenis. Lebih ironis lagi bila kaum hijaber berperilaku kurang relevan dengan jenis pakaian yang sedang disandangnya.

Kriteria khusus
Gejala pakaian remaja Muslim yang ala artis ini, jelas bukan berbusana yang direkomendasikan Islam. Islam memiliki kriteria khusus mengenai pakaian muslimah sehingga berfungsi melindungi fisik dan mental pemakainya. Karena demikian pentingnya berpakaian yang relevan dengan fungsinya yang benar, maka Islam memberikan perhatian khusus terhadap tubuh perempuan demi perlindungan bukan pembatasan dan pengekangan. Dalam pandangan Islam, nyaris seluruh tubuh perempuan dikategorikan sebagai aurat, kecuali muka dan telapak tangan. Bahkan ada ulama yang berpandangan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya tanpa ada pengecualiaan.

Aurat adalah bagian dari tubuh perempuan dan laki-laki dewasa yang wajib dilindungi atau dibatasi penampakannya dari pandangan orang-orang yang tidak berhak. Satu usaha untuk menutupi dan sekaligus melindungi aurat ini adalah melalui pakaian yang telah distandarkan. Tidak cukup pada pengaturan berpakaian saja, Islam juga mengimbau umatnya untuk pergaualan, seperti menjaga (menundukkan) pandangan dan juga membatasi pergaulan yang mudah menyeret seseorang kepada kemaksiatan. Setelah berpakaian yang berstandar syariat tersebut, ikhtiar memelihara aurat harus dilakukan dengan menjaga etika pergaulan seperti menjaga gerak-gerik, dan perilaku yang dapat mengundang malapetaka.

Harus diakui memang perjuangan kaum perempuan muslim perkotaan untuk berhijab ala komunitas hijaber saja tidaklah mudah. Konon lagi berhijab dalam pengertian yang memenuhi standar syariat dan memberi kenyamanan bagi pemakainya. Karena itu bagaimanapun apresiasi patut diberikan atas niat tulus ikhlas dan ikhtiar permulaan kaum perempuan untuk mengenakan hijab. Mungkin inilah titik balik kesadaran beragama yang paling gampang, mudah dan popular kendati mahal yang bisa mereka lakukan. Hal itu, tentu, lebih baik dari pada tidak berhijab sama sekali, padahal ia seorang muslimah dan berdomisili di daerah yang mayoritas Muslim dan juga mayoritas kaum perempuan berhijab. Nah!

* Muhibuddin Hanafiah, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: ibnu_hanafi70@yahoo.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved