Opini
MoU Helsinki Landasan Pilkada Damai
AKHIR pekan lalu, para kader Partai Aceh (PA) dari berbagai kabupaten/kota di Aceh turun ke ibu kota
Oleh Imam Subhan
AKHIR pekan lalu, para kader Partai Aceh (PA) dari berbagai kabupaten/kota di Aceh turun ke ibu kota, Banda Aceh. Mereka menghadiri silaturrahmi dan deklarasi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota yang diusung oleh partai lokal paling berpengaruh tersebut dalam Pilkada 2017 mendatang.
Hadirnya para kader partai dan pendukung kandidat calon kepala daerah, sempat mengakibatkan kemacetan di beberapa titik dalam wilayah kota Banda Aceh. Namun, mereka kemudian terkonsentrasi di Taman Sriratu Safiatuddin, Banda Aceh, tempat acara perhelatan berlangsung. Kondisi ini sebenarnya merupakan atmosfir yang baik bagi perpolitikan Aceh, jika dibarengi dengan kesadaran untuk tertib demi kenyamanan bersama.
Sayangnya, hal itu terkadang berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Sebagai contoh, misalnya, jelang acara silaturrahmi dan deklarasi tersebut dihelat, beberapa kejadian sempat mewarnai “pesta politik” ini. Di antaranya, seperti dilaporkan media, seorang wanita harus dirawat di RS Arun karena menderita luka tembak, setelah mobil yang ditumpanginya mencoba menerobos pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Meski kejadian tersebut tidak sampai merenggut korban jiwa, namun lagi-lagi harus ada darah yang tumpah.
Berita mengenai deklarasi tersebut memenuhi media masa, komentar dari Netizen pun membanjiri setiap berita yang beredar. Dimulai dari komentar semangat untuk memenangkan partai yang mendeklarasikan usungan calon kepala daerahnya ini, sampai komentar-komentar negatif bernada kecewa.
Barangkali ini salah satu gambaran betapa euforia perpolitikan di Aceh tengah bergelora, buah manis dari sebuah perdamaian melalui Mou Helsinki yang mengakhiri konflik panjang, mengembalikan hak hidup tenteram, hak politik, dan hak berdemokrasi.
Selalu menarik
Peta politik di Aceh memang selalu menarik, baik dikarenakan partai yang ikut bertarung maupun karena sosok bakal calon yang diusung. Bukan hanya itu, rekam jejak partai dan sosok bakal calon menjadi perhatian khusus bagi setiap konstituen. Obrolan mengenai Pilkada tidak pernah absen, baik di warung kopi, tempat bekerja, bahkan meja makan keluarga.
Hal yang paling menarik adalah hampir semua sosok yang diusung, khususnya calon gubernur dan wakil gubernur adalah pemain lama. Ada yang pernah jadi Gubernur, ada mantan Plt Gubernur, ada yang sedang menjadi Gubernur, juga ada yang sedang menjadi wakil gubernur. Tentunya dari setiap sosok tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, setiap mereka masing-masing punya tempat di hati masyarakat pemilih.
Hal ini lah yang membuat Pilkada 2017 di Aceh semakin panas. Namun, ada hal yang lebih penting yang harus kita ingat, pilihan silahkan berbeda, tetapi persatuan tetap menjadi yang utama. Jangan sampai karena berbeda pilihan menjadikan kita terpecah belah. Mari bersama kita menjadi konstituen bijak dan cerdas, tentukan pilihan sesuai hati, jangan mudah tertipu oleh iming-iming dan janji manis dari siapa pun calonnya.
Hindari politik uang, jauhi intimidasi, jangan sampai seperti yang sudah-sudah, hanya karena sebuah kursi kekuasaan, orang lain harus menghadap Ilahi. Semangat MoU Helsinki yang kini telah berusia 11 tahun harus terus kita jaga bersama, guna mewujudkan masa depan Aceh yang lebih baik.
Ikrar pilkada damai jangan hanya menjadi seremonial semata, akan tetapi harus menjadi realita. Kesucian nilai perdamian yang menentramkan melalui MoU Helsinki tidak akan utuh bila bukan kita bersama yang menjaganya. Meunyoe kon jinoe pajan lom, meunyoe kon geutanyoe soe lom? (Kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi?).
Petarung pilkada siapa pun boleh, partai mana saja boleh, partai lokal, partai Nasional, atau jalur independen semuanya berkewajiban menjalani pilkada dengan jujur, damai, dan tidak menimbulkan perpecahan.
Sudah cukup rakyat merasakan pedihnya kekerasan, luka konflik puluhan tahun silam mungkin belum juga sembuh, jadi jangan tambah kesengsaraan rakyat semakin menjadi-jadi. Bertarunglah dengan sehat, bersikap “jantan” dan bahagiakan rakyat melalui program-program yang menyejahterakan.
Mudah-mudahan, semangat perdamaian MoU Helsinki yang sudah berusia 11 Tahun ini dapat kita jadikan landasan utama untuk pilkada yang damai. Menjadikan kita pemimpin dan masyarakat yang saling menghormati, mendukung, dan bahu-membahu membawa Aceh pada marwahnya yang sesungguhnya dan bermartabat. Semoga!
* Imam Subhan, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Email: isubhan92@yahoo.com