Cerpen

Abu Berpakaian Kantoran

BUNYI suara bel sepeda membuatku langsung melihat ke belakang. Beberapa meter daritempatku

Editor: bakri

“Wah, doa Abu terkabul ya.Akhirnya bisa kerja kantoran. Abu senang?” Abu sejenak terdiam. Sesaat ia menarik nafas panjang, kali ini bercampur desahan kecil. “Ya, begitulah. Abu sebenarnya menikmati pekerjaan itu. Gajinya tidak besar, tapi banyak teman dan jadi tahu situasi politik lokal.” Perbincangan kami berhenti ejenak karena sebuah motor dengan knalpot blong melintas di jalan raya tak jauh dari tempat kami duduk. Semua orang yang mendengar suara sepeda motor itu pasti akan mengumpat si pengendaranya.

Berisik! Setelah suara motor itu menghilang, Abu melanjutkan lagi. “Tapi tadi Abu sempat berbincangdengan tetangga sebelah kantor, katanya kantor itu tak lama lagi tutup. Itu yang mau Abu tanyakan padamu. Apa benar kantor partai itu uka tutup buka tutup?” Kali ini gantian aku yang menarik nafas. Baru tahu kalau Abu ternyata bekerja di kantor partai. Yang namanya kantor partai, semua orang tahu aktivitasnya pasti angin-anginan.

Jika musim Pemilu atau Pilkada tiba, sibuk tak keruan. Terkadang buka sampai larut malam. Di musim-musimseperti itu, orang-orang partai kerap menyebut kantor mereka sebagai rumah rakyat, pusat perjuanganrakyat, rumah sahabat pejuang, markas rakan si anu dan berbagai istilah lain yang selalu dikaitkan dengan rakyat.Begitu selesai Pilkada, kantorkantor itu lebih banyak tutup.

Dibiarkan tak terurus sehingga tampak kumal, kotor, bagaikan rumah hantu. Jangankan komputer,meja dan kursi di ruang tamu pun tak ada lagi. Sudah dibawa pulang oleh masing-masing pemiliknya. Menjelang Pilkada berikutnya, kesibukankembali terlihat di kantor itu. Ingin rasanya aku menyampaikan gambaran itu kepada Abu, tapi tidak tega. Kasihan orang tua ini. Sepertinya ia mulai menikmati pekerjaanbarunya. Sayang, cerita ari ini membuat Abu agak patah semangat.

Pantas wajahnya tidak ceria sepertipagi tadi saat kami bertemu. “Tapi Abu, “ aku mencoba menghibur, “Mungkin saja kantor partai ang satu ini tidak seperti yang lain. Lagi pula cerita teman Abu itu kan belum pasti benar.” “Bagaimana Abu tidak percaya,dia dulu bekerja di kantor itu. Dia menangani semua tugas yang Abu tangani sekarang.” Ucapan itu membuat aku sedikit erdesak. Rasanya tidak ada lagi cara untuk meyakinkan abu bahwa ketakutanya itu tidak benar. “Ya, sudahlah Abu. Ayuk, azantelah memanggil. Yuk jalan. Lagi pula kan sapi-sapi masih ada,” Kataku seraya elangkah ke arah musala. “Itulah masalahnya. Abu sudah menjual semua sapi itu karena sulit mengurusnya. Selama dua bulan iniwaktu Abu banyak ersita urusan kantor itu. Kalau nanti kantor tutup, apalagi yang bisa Abu lakukan?

”Wah, ceritanya tambah rumit. Sapi sudah terjual , kantor bakal tutup. Kasihan pak tua itu. Usai sunat magrib, aku melihat dia berdoa cukup lama. Mudah-mudahan doanya terkabul dan ada kantor yang menerimanyabekerja. Semoga itu bukan kantor yang buka angin-anginan.

Banda Aceh, Agustus 2016

* Ahmady Meuraxa, jurnalis, tinggal di Banda Aceh

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved