Menyingkap Fenomena Anak Stunting di Aceh

Bagaimana pun pemerintah harus melakukan berbagai upaya agar kasus anak stunting dan gizi buruk atau kurang gizi di Aceh dapat ditekan sekecil mungkin

Penulis: Muslim Arsani | Editor: Amirullah
TRIBUNNEWS.COM
Ilustrasi 

Berdasarkan data Survei Kesehatan Dasar (Surkesdas)Kemenkes RI tahun 2013 menyebutkan 9,2 juta dari 24,5 juta anak di bawah lima tahun mengalami stunting (37%). Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.

Stunting ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Dengan kata lain, stunting merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan pada anak.

"Terutama pada masa seribu hari kehamilan atau biasa disebut goldenage dimana anak-anak yang mengalami stunting tidak mendapat asupan gizi yang baik," ujar Elinda. Stunting mempengaruhi kemampuan daya saing, kecerdasan, produktivitas, dan rendahnya kemampuan motorik anak.

"Ini terjadi karena perkembangan otak yang tidak sempurna karena faktor kekurangan asupan gizi pada awal kehamilan hingga dua tahun pertumbuhan anak," sebut Elinda.

Data Dinas Kesehatan Aceh terhadap Tinggi Badan per Usia (TB/U) berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2015 di 23 kabupaten/kota di Aceh terdapat  2.487 atau 36 persen anak Aceh berstatus stunting terdiri atas 1.074 anak memiliki ukuran tubuh sangat pendek dan 1.413 memiliki ukuran tubuh pendek. Angka ini lebih tinggi dari target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) di angka 26 persen.

"Dengan kata lain angka stunting di Aceh masih tinggi. Dapat dikatakan satu dari tiga anak Aceh mengalami stunting atau sepertiga anak Aceh masih tergolong pendek," ujarnya.

Pola makan dan asupan

Penanganan stunting merupakan salah satu kunci penting dalam pencapaian MDGs. Pemerintah Indonesia telah menetapkan upaya penurunan angka stunting melalui RPJM 2013-2017.

Keberadaan anak-anak stunting di Aceh menjadi satu kekhawatiran tersendiri karena jumlahnya yang signifikan mencapai 41 persen merujuk pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Aceh 2013. Jumlah ini melampaui angka rata-rata nasional 37,2 persen.

Tak dapat dipungkiri ada banyak faktor yang menyebabkan fenomena ini terjadi. Berdasarkan hasil penelitian Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Timur pada 2011 menyebutkan fenomena stunting di Aceh atau lebih dikenal dengan balita pendek sangat erat kaitannya dengan pola hidup wanita saat kehamilan terjadi, termasuk pola makan dan asupan gizi.

Studi itu mengungkapkan mayoritas ibu hamil melakukan kunjungan ANC (konsultasi kehamilan) rata-rata antara 4-7 kali selama hamil. Namun ada di antara mereka tidak melakukan kunjungan ANC karena tidak mendapat izin dari suami, tidak tahu harus ke mana dan kesulitan transportasi dan biaya.

Penelitian tersebut juga mengungkapkan mayoritas ibu selama hamil makan tiga kali sehari. Tiga jenis bahan makanan yang paling banyak dikonsumsi (dikonsumsi >70% ibu) adalah makanan pokok (beras, jagung, dll.), ikan/telur dan sayuran hijau. Namun yang jarang dikonsumsi ibu hamil (dikonsumsi <10% ibu) adalah daging, hati, unggas dan buah-buahan berwarna merah/kuning.

Persepsi keliru

Sebanyak 82.5% ibu menerima tablet besi namun jumlah yang diminum rata-rata 40 tablet selama kehamilan. Alasannya karena anemia dan memiliki efek samping (mual). Padahal pada masa kehamilan tablet penambah darah dinilai sangat penting untuk dikonsumsi saat seorang ibu sedang hamil.

Selain itu, studi yang dilakukan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI tersebut juga menyebutkan masih sedikit ibu hamil yang sadar akan pentingnya memberi kolostrum kepada bayi setelah melahirkan.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved