Habib Abdurrahman Al-Zahir, Diplomat Ulung Kepala Masjid Raya Baiturrahman

Sebelum berlabuh di Aceh, Habib Abdurrahman berada di Johor selama satu setengah tahun.

Penulis: Said Kamaruzzaman | Editor: Faisal Zamzami
Wikipedia
Habib Abdurrahman Al-Zahir 

Mereka berhasil memainkan politik ‘Pula Labu’. Di internal kerajaan Aceh, muncul pertikaian antara Ulee Balang dan petinggi Aceh. Nah, kehadiran Habib Abdurrahman berhasil mengatasi konflik internal yang terjadi antara Sultan Ibrahim Mansursyah dengan Teuku Muda Baet.

Keberhasilan ini membuat sultan mengangkat Habib menjadi Kepala Urusan Agama dan Pemerintahan di Cot Putu dalam III Mukim, Aceh Besar.

Detik-detik jelang perang Aceh, Habib Abdurrahman menjadi kunci diplomasi Aceh dengan dunia. Habib diberikan kuasa tujuh tahun untuk mencari dukungan di Arab dan Eropa. Penunjukan Habib sebagai diplomat juga tidak mudah.

Sebagaimana disebutkan dalam Bustanussalatin pada bab III pasal 5, menjadi seorang utusan harus memenuhi 10 syarat, antara lain, takut kepada Allah, punya ilmu pengetahuan, baik kelakuannya, elok paras, bangsawan, berani melakukan apa yang menjadi kemauan raja, dan sebagainya.

“Syarat-syarat seorang diplomat yang dibuat kerajaan Aceh sangat ketat, melebihi Eropa,” tuturnya.

Untuk mencari dukungan, di Eropa Habib bertandang ke Konstantinopel, Paris, dan Inggris. Namun, dengan berbagai faktor, negara ini tidak berniat membantu Aceh secara maksimal.

Dari Singapura, Habib mengirimkan surat kepada James Loudon selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mencari titik perdamaian, namun tidak mendapatkan respons yang baik. Dari Singapura, dia menyeberang ke Pulau Penang, lalu kembali ke Aceh dengan cara sembunyi-sembunyi.

Beragam perlawanan kemudian dimobilisasi Habib Abdurrahman di Aceh. Di Indra Puri, Habib diangkat sebagai panglima perang. Namun, kampung-kampung di kawasan itu duluan dikuasai Belanda, mulai dari Kayee Le, Biluy, hingga Lambaro. Namun, Habib sempat menyerang Belanda sebanyak empat kali, yakni tiga kali di mukim XXVI dan sekali di mukim IV.

Kondisi rakyat Aceh yang terpecah belah menguntungkan Belanda. Satu-satunya yang menjadi perhitungan Belanda adalah Habib Abdurrahman. Itu sebab, beragam cara dilakukan untuk mengeluarkannya dari Aceh.

Kondisi internal tidak menguntungkan Aceh dalam ekspedisi kedu Belanda. Persenjataan tak seimbang dengan pihak lawan. Antar-elite tidak bersatu. Apalagi Panglima Polem menarik diri sepenuhnya dari kancah peperangan. Namun, Habib masih melakukan mobilisasi rakyat untuk berjuang melawan Belanda dengan menyerang IV mukim.

Sayangnya, pasukan yang dikerahkan tidak memadai melawan musuh, sehingga banyak orang yang melarikan diri ke masjid Montasik. Dalam kondisi itulah, Habib menyarankan Ulee Balang menyerah, apalagi kubu pertahanan Aceh di Montasik dan Seunelop sudah jatuh ke tangan Belanda.

“Dalam satu pertemuan, Habib mengutarakan niatnya untuk menyerah agar dia tidak terikat dengan tanggung jawab di pundaknya sebagai panglima perang. Dari 12 Ulee Balang yang hadir, 7 orang ingin berdamai, sedangkan 5 orang ingin meneruskan peperangan. Maka pada 13 Oktober 1878, Habib Abdurrahman Al-Zahir menyerah dengan syarat kepada Belanda.”

Salah satu tuntutan yang diutarakan Habib adalah memberikan uang bulanan kepadanya sebanyak 1.000 ringgit (f 2500) dan akan membawa seluruh keluarga dan pengikutnya ke negeri Arab.

Pemberian kompensasi semacam ini kepada pemimpin yang menyerah merupakan hal yang lumrah, sebagaimana juga dilakukan Belanda terhadap Teuku Cut Tungkop dan T Nyak Muhammad IX Mukim, Panglima Polem, Tuanku Raja Keumala, dan lain sebagainya.

Kata Hekal, peran dan kontribusi Habib dalam melakukan diplomasi luar negeri merupakan salah satu upaya yang menyebabkan Belanda kalah dalam ekspedisi pertama di Aceh.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved