Myanmar Teroris tak Berjanggut
Jika berkaca kasus-kasus Rohingya, muslim Arakan adalah korban dari ekstrimisme Budha di Myanmar
Penulis: Amirullah | Editor: Yusmadi
ROHINGYA kembali berduka, hampir 400 orang tewas dalam pertempuran di Myanmar barat laut selama sepekan terakhir. Ribuan orang menyeberang ke perbatasan menuju Bangladesh dengan satu harapan, selamat.
Kekerasan terhadap muslim Rohingya sudah terjadi sejak lama, yang beruntung bisa berlabuh ke beberapa negara saat melarikan diri. Di Aceh, sudah sering manusia perahu Rohinya terdampar saat menuju negara ketiga untuk mencari kehidupan yang lebih aman.
Apa yang terjadi terhadap muslim Rohingya merupakan edisi kekerasan tiada akhir. Kutukuan demi kutukan dari berbagai negara muslim terhadap Pemerintahan Myanmar berlalu tanpa bekas.
Kepedihan tidak mereda, malah memuncak setelah aksi serangan Arakan Rohingya Salvation Army terhadap petugas keamanan Myanmar. Ini menjadi awal kelam dan alibi militer Myanmar untuk terus menghabisi warga Rohingya hingga punah di Arakan. [BACA: ‘Myanmar Ingin Menumpas Habis Muslim Rohingya’]
![pengungsi Rohingya [STR/AFP/Getty Images]](https://i.guim.co.uk/img/media/e54236c89505824663aa595200e51db6301eeb96/0_117_3500_2101/master/3500.jpg?w=620&q=55&auto=format&usm=12&fit=max&s=129d5fae9787bd118af4b804e4936689)
Meskipun PBB telah meminta militer menjaga keamanan penduduk sipil, tetapi di lapangan justru warga sipil menjadi bulan-bulanan militer Rohingya. Pada beberapa kesempatan ekstrimis Budha pun ikut menjadi bagian menyerang, mengusir warga muslim.
Kita prihatin akan hal ini, banyak sudah organisasi kemanusiaan mengutuk dan meminta Pemerintah Myanmar menghentikan perburuan bangsa Rohingya.
Bahkan, tokoh peraih nobel perdamaian Myanmar Aung San Suu Kyi pun tidak bicara dan diam seribu bahasa melihat Arakan bergejolak. Ia tak merespons pembantaian atas bangsa Rohingya yang terjadi di depan matanya.
Menyimak kekinian di Rohinya, rasanya pantas kita menerjemah ulang bahkan menegas kembali makna teroris. Jika prase ini lama disemat pada muslim di dunia, akibat frame media selama ini, maka kekerasan di Myanmar oleh militer dan 'dibantu' ekstrimis Budha layak dikatakan sebagai sebuah aksi terorisme.
Patut kita renungkan kembali pemaknaan ini, pemaknaan teroris, radikalis,dan ekstrimis untuk mereka yang sadis membunuh anak bangsanya sendiri.
Frame media memang sering tidak adil dalam pemakaian kata teroris dan radikalisme yang disemat kepada umat Muhammad Saw.
Hari ini, dunia menyaksikan sebuah upaya sistematis pembersihan etnis Rohingya di Arakan. Muslim Rohingya tidak berdaya, terbunuh, dan tidak dimanusiakan di negerinya sendiri. Di negeri di mana Aung San Suu Kyi duduk manis sebagai penerima nobel perdamaian. Ironis!

Aung San Suu Kyi tak berjanggut, para biksu ekstrim di Myanmar pun tak berjanggut, militer Myanmar yang menyerang membabibuta di perkampungan warga Arakan pun berwajah klimis. Tetapi mereka lebih ekstrimis dalam strategi cleaning etnis di Arakan.
Terorisme, radikalisme, ekstrimisme menjadi frase yang digunakan untuk menyebut kelompok garis keras yang dituduh melawan negara.
Di mana pun mereka berada, dan sialnya saat ini umat Islam ketiban lakab itu. Menjadi bulan-bulanan pemberitaan miring terkait aksi-aksi kekerasan yang menyudutkan nama Islam sebagai agama rahmat bagi semesta.
Jika berkaca kasus-kasus Rohingya, muslim Arakan adalah korban dari ekstrimisme Budha di Myanmar, tapi bangsa dunia terutama blok barat tidak menabal Budhis Myanmar sebagai teroris.
Militer Myanmar sudah sangat cocok dilakab sebagai teroris karena memenuhi batasan definisi apa itu teroris.
Teroris: te.ro.ris [n] orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik: gerombolan- telah mengganas dengan membakar rumah penduduk dan merampas hasil panen. [KBBI]
[BACA: Kisah Relawan Pembasmi Kutu Wanita Rohingya]

Maka, sesungguhnya benar seperti dikatakan Ketua Dewan Pers Indonesia, Yosep Stanley Adiprasetyo. Jangan mengaitkan terorisme dengan agama. Pelaku kekerasan bisa hadir dari kalangan mana pun dan pemeluk agama apa pun, seperti di Myanmar.
Dalam satu diskusi di Banda Aceh awal Agustus yang lalu, di mana saya hadir dan menemani beberapa kali kunjungan Dewan Pers ke sejumlah media, Yosep Adi Prasetyo, meminta kepada seluruh media yang ada di Indonesia agar berhati-hati dalam memberitkan aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.
Dengan tegas ia meminta kepada seluruh media agar tidak mengaitkan agama tertentu dengan isu terorisme.
Kembali ke nasib muslim Rohingya, semoga dunia adil melihat ini dan menabal teroris bagi pelaku kekerasan di Arakan.
Kita lihat dengan nyata, sesungguhnya militer Myanmar itu teroris tak berjanggut, bersorban, dan tak bercelana jingkrak! tetapi lebih kejam dari yang dituduhkan barat terhadap Islam selama ini. Allahu aklam. [Arif Ramdan | Wartawan Serambi Indonesia, pegiat di Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh]