Aung San Suu Kyi Tak Pantas Terima Nobel Perdamaian, Dia Tak Memperjuangkan Rohingya

Kecaman terhadap sikap Suu Kyi atas konflik Rohingya di Myanmar terus berdatangan pula dari banyak tokoh, baik di Myanmar maupun global.

Editor: Faisal Zamzami
(ANTARA FOTO/REUTERS/MOHAMMAD PONIR HOSSAIN)
Warga Rohingya di wilayah Bangladesh akibat tidak diizinkan masuk oleh Garda Perbatasan Bangladesh (BGB), untuk masuk Bangladesh, di Cox Bazar, Bangladesh, Senin (28/8/2017). 

(Baca: Pemerintah Indonesia Siap Berikan Bantuan Penanganan Rohingya)

Terkait laporan yang diterbitkan The Advisory Commission on Rakhine State—melibatkan Kofi Annan, mantan Sekjen PBB—, Jimly melihatnya sebagai sebuah solusi. Namun, kata dia, usaha lain yang bersifat kultural juga tetap harus dilakukan, termasuk upaya menggerakkan tokoh-tokoh umat Buddha.

“Tokoh-tokoh Buddhis ini juga perlu. Dampaknya nanti juga komunikasi politik di dalam negeri. Jadi, Indonesia melindungi orang Buddhis di sini juga wajar, saling lindung-melindungi,” kata Jimly.

(Baca: Biksu Ashin Wirathu, Teroris Pembantai Muslim Rohingya, Kenali Enam Fakta Mengejutkan Si Botak Ini)

Adapun soal sikap Indonesia, Jimly berpendapat  sudah seharusnya bersuara lantang. Terlebih lagi, Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN.

Siapa Rohingya?

Rohingya adalah salah satu suku minoritas di Myanmar. Mereka sudah berada di negara itu selama beberapa generasi di wilayah Rakhine, semacam provinsi di Myanmar.

Namun, Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka sebagai warga negaranya. Alih-alih, mereka menyebut Rohingya adalah imigran Muslim ilegal asal Banglades.

Pengungsi baru Rohingya menunggu bisa masuk kamp pengungsi sementara Kutupalang, Cox Bazar, Bangladesh, Rabu (30/8/2017).(ANTARA FOTO/REUTERS/MOHAMMAD PONIR HOSSAIN)
Pengungsi baru Rohingya menunggu bisa masuk kamp pengungsi sementara Kutupalang, Cox Bazar, Bangladesh, Rabu (30/8/2017).(ANTARA FOTO/REUTERS/MOHAMMAD PONIR HOSSAIN) ()

Nasib buruk Rohingya di Myanmar menjadi-jadi sejak junta militer menguasai Myanmar mulai era 1960-an. Lalu, pada 1982, terbit Burma Citizenship Law, yang tak memasukkan Rohingya sebagai warga negaranya. Burma adalah nama lama Myanmar hingga berubah pada 1989. 

Di Myanmar, Rohingya kerap dianggap bagian dari suku Bengali—wilayah Banglades—karena pada 1960-an suku ini pernah mengungsi massal ke wilayah Bengali akibat represi militer.

Namun, tudingan bahwa Rohingya sejatinya orang Bengali pun tak sejalan dengan sikap Pemerintah Banglades. Negara ini pun tak mau menyambut orang Rohingya sebagai warga negaranya, meski menampung seribuan pengungsi dari suku tersebut.

(Baca: VIDEO - Kekerasan terhadap Muslim Rohingya, Pemimpin Dunia Mengutuk, Thailand Siap Tampung Pengungsi)

Konflik Rohingya di Myanmar bukan sekali atau dua kali berujung dengan hilangnya nyawa. Kisah-kisah warga yang kelaparan—termasuk perempuan dan anak-anak—lebih-lebih sering lagi muncul.

Selain tak diakui kewarganegaraannya, orang-orang Rohingya juga tak mendapat akses untuk segala pekerjaan di Myanmar, kecuali segelintir dari orang-orang yang terketuk hati memberi pekerjaan informal. Mengungsi ke negara-negara lain—tak cuma Banglades—pun tak selalu diterima. 

Pertanyaan besar hari ini, di mana kemanusiaan buat Rohingya?

==

Penulis: Palupi Annisa Auliani

Artikel Ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul: Jimly: Aung San Suu Kyi Tak Pantas Terima Nobel Perdamaian

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved