4 Perempuan Aceh Ini Meraih Penghargaan Internasional, Begini Kisah dan Perjuangan Mereka
Kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh empat ratu. Di era modern, Aceh juga banyak melahirkan para perempuan gigih.
Penulis: AnsariHasyim | Editor: Safriadi Syahbuddin
LINA bertujuan untuk menampung aspirasi politik kaum perempuan di Aceh, seperti kelompok Inong Balee, perempuan yang ikut berjuang bersama GAM, sebelum perjanjian damai disepakati.
LINA sengaja dibentuk agar perempuan Aceh bisa ikut berpolitik dalam memikirkan nasib dan menyalurkan aspirasinya.
Atas berbagai upaya dan perjuangannya terlibat dalam proses perdamaian Aceh, lembaga Mediator Beyond Borders International (MBBI) dan Stichting Mediators memberinya penghargaan Peacemaker Award 2017.
Penghargaan diserahkan dalam sebuah acara di Den Haag, Belanda, Kamis 5 Oktober 2017.
(Baca: Mantan Anggota Tim Perunding GAM Dapat Penghargaan ‘Peacemaker Award 2017’ di Belanda)
Penghargaan untuk Shadia Marhaban juga diberikan atas kerja dan upaya perdamaian yang ia lakukan selama ini di wilayah konflik seperti Filipina, Colombia, Myanmar, Nepal dan Thailand.
Upaya mempromosikan dialog dan gencatan senjata dinilai menjadi ujung tombak dari upaya-upaya yang dilakukan Shadia selama ini.
Shadia juga adalah seorang penasihat dari gerakan-gerakan bersenjata di beberapa wilayah Asia Tenggara.
Ia juga teman dekat dan penerjemah bagi jurnalis freelance asal Amerika Serikat William Nessen yang pernah terjebak dalam pertempuran antara GAM dan pasukan Pemerintah RI saat Aceh masih dilanda konflik bersenjata.
2. Suraiya Kamaruzzaman
Aktivis perempuan Aceh ini dikenal sosok yang vokal dan kritis mengadvokasi kepentingan kaumnya.
Bahkan saat Aceh masih dilanda konflik, Suraiya yang akrab disapa Aya menjadi ujung tombak suara perempuan dalam menggalang upaya damai melalui dialog antara Pemerintah dan GAM.
(Baca: Pertengahan September, KKR Temui Korban Konflik Aceh, Apa yang Ingin Digali?)
Perempuan kelahiran Desa Lam U Aceh Besar 3 Juni 1968 ini, bersama rekan-rekannya kemudian mendirikan Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (1997) dan Suloh Aceh (1998) dan menggerakkan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan.

Pada tahun 2000 dia terpilih sebagai Ketua Steering Committee untuk Kongres Perempuan Aceh yang mendorong proses penyelesaikan konflik di Aceh dengan cara damai yaitu melalui dialog.