Opini
Menyoal ‘Sipol’ KPU
UNDANG-UNDANG No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) telah disahkan pada 16 Agustus 2017
Oleh Asqalani
UNDANG-UNDANG No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) telah disahkan pada 16 Agustus 2017 lalu. UU Pemilu ini akan menjadi landasan hukum bagi penyelenggara dan peserta pemilu untuk menyukseskan Pemilu Serentak 2019. Ini merupakan agenda Nasional; perhelatan demokrasi lima tanunan dalam rangka memilih wakil rakyat di parlemen baik DPR, DPD dan DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, pemegang mandat regulator bertugas menyusun dan mempersiapkan peraturan/pedoman dan petunjuk teknis lainnya, baik dalam bentuk software dan hardware-nya. Upaya ini dimaksudkan agar tata laksana, prosedur dan mekanismenya dapat dijalankan oleh seluruh perangkat dan jajaran KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan KPPS.
Begitu juga jajaran sekretariat melakukan hal yang sama (supporting) atas tugas-tugas komisioner. Dan tidak kalah penting instrumen penyelenggara lainnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI turut mempersiapkan aturan pelaksanaan pengawasannya mengiringi lahirnya Peraturan KPU sebagai ketentuan tata laksana teknis pemilu.
Penetapan Peraturan KPU No.7 Tahun 2017 tentang Program, Jadwal dan Tahapan Penyelenggaraan Pemilu 2019 merupakan jawaban keseriusan KPU RI menghadapi pemilu ke depan. Dalam lampirannya disebutkan bahwa agenda kegiatan diawali dengan tahapan pendaftaran dan penyerahan syarat partai politik (parpol) peserta pemilu kepada KPU mulai 3-16 Oktober 2017 di setiap tingkatan, baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.
Adapun tentang mekanisme pendaftaran, penelitian administrasi, verifikasi faktual, dan penetapan parpol peserta pemilu Anggota DPR dan DPRD diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU No.11 Tahun 2017 dan Keputusan KPU No.174/HK/.03.1-Kpt/03/KPU/X/2017.
Input data Sipol
Kedua regulasi di atas mewajibkan bagi parpol peserta pemilu untuk meng-input data dalam sistem aplikasi yang diterapkan KPU dengan nama Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Sipol adalah separangkat sistem dan teknologi informasi untuk mendukung kerja parpol dan penyelenggara pemilu dalam melakukan pendaftaran sebagai peserta pemilu.
Sipol memuat materi berupa: 1. Data kepengurusan parpol pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan; 2. Data keanggotaan pada tingkat kabupaten/kota; 3. Status badan hukum parpol; 4. Persentase keterwakilan perempuan paling sedikit 30%; 5. Kantor tetap pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sampai akhir tahapan pemilu; 6. Pengajuan nama, lambang dan tanda gambar, dan; 7. Menyerahkan nomor rekening atas nama partai pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Sajian informasi di atas yang sudah di-input parpol dalam Sipol merupakan syarat pendaftaran yang diajukan ke KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Ini juga sebagai alat kontrol bagi KPU untuk memastikan kesesuaian antara dokumen informasi yang ada dalam Sipol dengan dukumen faktual yang diserahkan parpol pada masing-masing tingkatan. Jika parpol belum meng-input data Sipol tersebut, maka konsekuensinya tidak dapat mendaftar sebagai peserta pemilu. Hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (5) PKPU No.11 Tahun 2017.
Pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana pengawas pemilu dapat mengakses aplikasi Sipol tersebut? Faktanya, sampai hari ini Pengawas pemilu belum dapat mengakses Sipol tersebut karena KPU belum menyerahkan user dan password-nya kepada Bawaslu.
Mengutip pernyataan Anggota KPU, Hasyim Asy’ari di Gedung KPU, pada 5 Oktober 2017 lalu, “KPU Beri Bawaslu Akses Awasi Sipol”. Bawaslu memerlukan akses Sipol agar memiliki rekam data jika muncul sengketa adminstasi pemilu yang diajukan oleh parpol yang tidak lolos. Hasyim Asy’ari mengatakan, kode akses dan nama pengguna Sistem Informasi Partai Politik direncanakan akan diberikan kepada Bawaslu. (Kompas, 6/10/2017).
Anggota Bawaslu Afifuddin, secara terpisah mengatakan hingga kamis siang Bawaslu belum menerima Sipol yang dijanjikan KPU. Ia mengaku sudah mengirimkan surat ke KPU, mengingatkan potensi persoalan akibat Kebijakan KPU mewajibkan Sipol melalui Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Parpol Peserta Pemilu Legislatif.
Lebih lanjut, dalam berita berjudul “Bawaslu akan Dengarkan Keluhan Parpol”, Afifuddin mengatakan, “Jangan dipahami kami ini (Bawaslu) anti-Sipol, kami sedang menyiapkan emergency exit teknis pendaftaran itu agar tidak membatalkan calon peserta pemilu. Bukan menolak atau tidak. Jika dalam beberapa kasus kabupaten tertentu mengunggah tidak bisa, karena alasan itu, harus ada jalan keluar.” (Kompas, 7/10/2017).
Selain itu, dia mengatakan, Bawaslu masih menunggu pemberian akses terhadap Sipol yang dijanjikan KPU. Hingga Jumat siang (5 Oktober 2017) lalu, belum ada surat dari KPU terkait pemberian akses terhadap Sipol. “Kami masih menunggu, jika belum ada, nanti Selasa (10/10), saat KPU mengajak rapat Koordinasi soal Sipol akan kami tanyakan. Bisa ketemu lebih dulu,” kata Afifuddin.
Bawaslu penasaran
Dua berita yang dikutip di Harian Kompas itu, semakin membuat penasaran Bawaslu sampai jajaran Panwaslu di kabupaten/kota, alasan apa sebenarnya KPU belum dapat membuka akses Sipol tersebut bagi pengawas pemilu. Bukankah sistem aplikasi tesebut merupakan sarana yang dapat mendorong parpol mewujudkan akuntabilitas dan transparansi informasi?
Begitu pula bagi KPU akan terlihat profesional dan independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya jika dapat bersinergi dengan Bawaslu. Bagi Bawaslu dan jajaran sebenarnya berdasarkan tugas dan fungsinya mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu dalam rangka mewujudkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas.
Untuk itu, titik awalnya berangkat dari proses pendaftaran peserta pemilu agar terbuka dan transparan, partisipatif, meminimalisir potensi sengketa di kemudian hari pasca-penetapan peserta pemilu maupun potensi pelanggaran lainnya. Tentu hasil kerja KPU/KIP serta Bawaslu/Panwaslu oleh masyarakat dapat dinilai; apakah sudah menempatkan fungsinya pada jalur yang benar, the rule of law’ and the rule of ethic (sesuai ketentuan hukum dan etika)?
Terkahir, tentunya, Bawaslu Provinsi dan jajaran tidak ingin persoalan ases Sipol ini menjadi potensi disharmonisasi koordinasi antara Panwaslu dan KPU/KIP Kabupaten/Kota, maka perlu kearifan dan komitmen KPU serta jajarannya merealisasikan janji sebagaimana dikemukakan oleh Anggota KPU sebagaimana disinggung dalam berita di atas. Semoga!
* Asqalani, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Aceh. Email: asqalani_bws@yahoo.com