Kupi Beungoh
Menjaga Indonesia dari Paham Agama Keras
Fenomena “paham agama keras” ini bukanlah hal baru. Ia merupakan gelombang panjang dari interpretasi literal terhadap teks agama
Oleh: Dr. Mawardi, S. Th. I,. MA,
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dihadapkan pada gejala sosial yang mengkhawatirkan: munculnya kembali kelompok-kelompok keagamaan yang mengusung tafsir sempit dan keras terhadap ajaran agama.
Mereka hadir di tengah masyarakat dengan wajah yang seolah lembut, menawarkan “kebenaran tunggal” melalui pendekatan personal, dari pintu ke pintu, dari masjid ke masjid, bahkan dari grup WhatsApp ke grup WhatsApp.
Perlahan tapi pasti, mereka menanamkan benih pemahaman eksklusif yang menolak keberagaman, menentang otoritas negara, dan mengabaikan semangat toleransi yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa.
Paham semacam ini sering kali berangkat dari niat yang tampak suci mengajak manusia kembali kepada “agama yang murni,” namun di baliknya tersembunyi agenda ideologis yang berpotensi mengguncang sendi-sendi kebangsaan.
Mereka menganggap hanya kelompoknya yang benar, sementara yang lain salah, sesat, atau bahkan kafir. Mereka mendakwahkan agama bukan sebagai rahmat bagi semesta, melainkan sebagai alat pembeda yang memisahkan manusia ke dalam kubu “kami” dan “mereka”.
Baca juga: Kunjungan Perdana ke Aceh, Dubes Kanada Tegaskan Komitmen Kerja Sama Multisektor
Fenomena “paham agama keras” ini bukanlah hal baru. Ia merupakan gelombang panjang dari interpretasi literal terhadap teks agama yang menafikan konteks sosial dan kemanusiaan.
Dalam sejarah Islam sendiri, bibit-bibit pemahaman seperti ini pernah muncul di masa klasik, ketika sebagian kelompok menghalalkan kekerasan atas nama penegakan iman.
Namun yang membedakan situasi kini adalah kemampuannya menyesuaikan diri dengan teknologi dan ruang digital.
Mereka tidak lagi hanya berdiri di mimbar atau mengaji di sudut kampung, tetapi juga menyebarkan narasi kebencian melalui media sosial dengan kecepatan yang sulit dibendung.
Deklarasi Abu Dhabi tahun 2019, yang melahirkan Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together, sebenarnya telah memberikan arah yang jelas dalam menghadapi persoalan ini.
Dokumen bersejarah itu ditandatangani bersama oleh Grand Imam Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb, dan Paus Fransiskus.
Pesannya sederhana namun mendalam: kemanusiaan harus menjadi titik temu di atas perbedaan agama, ras, dan budaya.
Agama, kata mereka, tidak boleh dijadikan alat untuk memecah-belah, melainkan harus menjadi jembatan yang menghubungkan hati manusia.
Deklarasi Abu Dhabi seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua di Indonesia, negeri yang sejak awal berdiri di atas semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
| Kemandekan Investasi dan Industrialisasi di Aceh, Bagian I |
|
|---|
| Globalisasi dan Alam Gayo: Antara Kemajuan dan Ancaman Hijau |
|
|---|
| Ketika Buku Berdebu, dan Layar Jadi Teman: Masa Depan Perpustakaan di Era Digital |
|
|---|
| Biaya Hidup Melonjak dan Krisis Pekerjaan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat Ilmu |
|
|---|
| Romantisasi Kerja Tanpa Pamrih |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.