Kupi Beungoh
Meneropong Hubungan Intelektualitas Aceh (Dayah, Al- Azhar, dan Alumni Timur Tengah)
Jangan kita disibukkan dengan memperdebatkan urusan furuiyyah sehingga syaitan, kafir, dan musuh Allah lainnya kehilangan musuh untuk dilawan.
Oleh: Mustafa Husen Woyla
Aceh memang selalu menarik untuk dikaji dan telusuri dari berbagai aspek, mulai dari masa kerajaan Aceh hatta bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terlebih jika bicara Islam di NKRI, tentu titik nol kilometernya bermula dari Aceh.
Abaikan titik nol yang bermula di nun jauh di sana. Karena jika ditarik benang merahnya, Islam tetap bermula di Aceh.
Aceh dan 7 provinsi lain di Indonesia berada tepat di atas daerah istimewa di bumi ini, yakni garis khatulistiwa.
Ditambah lagi Aceh sebagai pemodal terbebasnya NKRI dari penjajahan kafir harbi laknatullah alaih.
Dan yang paling berjasa dunia akhirat adalah Aceh, tempat transit muballigh muslim membebaskan manusia dari belenggu penyembah setan dan hantu.
(Baca: Pimpinan Pesantren Ini Nilai Ada Kelemahan Dalam Penegakan Syariat Islam di Aceh Tenggara)
Atas kehendak Allah, Aceh-lah yang berjasa mengirim para da’i yang pada akhirnya dikenal dengan Wali Songo, itu juga sebagiannya berasal dari Aceh.
Puncaknya gemilangnya, Ibu Negara Indonesia bernama Jakarta itu disematkan oleh putra Aceh bernama Syarif Hidayatullah.
Atas jasa orang Aceh pula, Islam menjadi agama mayoritas nomor satu di Indonesia dan nomor dua di dunia sebagai penganut agama terbesar, setelah Nasrani.
Sesudah kerajaan Fathimiyah ditumbangkan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi di Mesir pada tahun 577 H, datanglah muballigh-muballigh Islam bermazhab Syafi’i ke Nusantara.
Mereka diutus oleh kerajaan Ayyubiyah dan kemudian oleh kerajaan Mamalik. Kerajaan Ayyubiyah berkuasa di Mesir selama 52 tahun, kemudian diganti oleh kerajaan Mamalik sampai akhir abad ke 9 H (permulaan abad 14 M).
Kedua kerajaan ini adalah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah bermadzhab Syafi’i yang sangat gigih.
Muballigh-muballigh yang dikirim oleh kedua kerajaan ini bertebaran ke seluruh pelosok dunia termasuk Nusantara.
Di antara muballigh-muballigh Islam dari kerajaan Mamalik itu adalah Ismail ash-Shiddiq yang datang ke Pasai mengajarkan Islam madzhab Syafi’i.
Dengan usaha beliau, ummat Islam Pasai menganut madzhab Syafi’i. Raja-raja Pasai pun sejak saat itu menjadi penganut madzhab Syafi’i yang gigih.
Memang bak gayung bersambut, Islam yang datang di Negeri beriklim tropis, tepatnya di Peureulak bukan di Barus, sekali lagi bukan di Barus, adalah bermazhab Syafi’i.
Mazhab yang dikenal sebagai mazhab poros tengah.
Disebut sebagai mazhab moderat atau mazhab poros tengah karena Imam Syafi'i memilih jalan tengah antara mazhab fikih rasional (Hanafiah) dan mazhab fikih tradisional (Hanabilah).
Karena dianggap cocok tanpa mengesampingkan mazhab fikih tiga lainnya.
Sultan Iskandar Muda dalam Qanun Meukata Alam, menobatkan aqidah ahlusunnah wal jamaah (Fikih mazhab Syafi’i, Aqidah Asy’ari wal Matudiri, dan Tasauf Al Ghazali wal Junaid al Baghdadi) sebagai mazhab resmi Kerajaan Aceh dan melarang tersebar aqidah 72 (tujuh puluh dua), di antara nya Syiah, khawarij, Muktazilah dan aliran sempalan lainnya.
Organisasi dan pergerakan di Indonesia
Sedikit sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Indonesia diwarnai dengan lahir sejumlah organinasi masyarakat yang mengorganisir amaliah umat Islam dalam kerangka mazhab.
Muhammadiyah (1912) oleh KH Ahmad Dahlan di Jogyakarta, empat belas tahun kemudian didirikan Nahdlatul Ulama (1926) di Jawa Timur oleh KH Hasyim Asy’ari, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) tahun1930 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Berbarengan lahir juga Al-Washliyah (1930) di Medan.
Salafi Wahabi ala Saudi Arabia tidak begitu diminati di Indonesia. Kecuali sesudah ternaturalisasi berkali-kali.
Yakni dari Muhammad bin Abduh Mesir (W. 1905), lalu disaring dengan pemahaman Muhammad Rasyid bin Ali Ridha (W. 1935) kemudian disterilkan oleh KH Ahmad Dahlan yang mempunyai sikap moderat.
Itupun tidak terlepas dari didikan guru spiritual, Sayyid Abu Bakar Syata dari pengarang kitab I’anatut Talibin Syarah Fathu al-Muin, Mufti dan Imam Masjidil Haram di masanya.
Sebenarnya tidak mengapa dengan tumbuh kembangnya sejumlah ormas di atas.
Fungsi dan peran ormas sejatinya mengorganisir amaliah dan muamalah umat sesuai fatwa ulama yang makruf.
Bukan malah melahirkan mazhab baru. Karena jauh sebelum ada ormas itu ummat Islam sudah bermazhab dengan benar. Dengan pengertian mazhab rakyat adalah mazhab mufti.
(Baca: Penangkapan 11 Pangeran, Ulama Saudi Sebut Sama Pentingnya dengan Memerangi Terorisme)
Hubungan Intelektualitas dayah dan timur tengah
Bicara Islam tentu tidak terlepas dari jazirah Arab. Karena Islam berasal dari sana.
Namun ‘kiblat’ ilmu dari masa ke masa silih berganti. Pernah di Makkah - Madinah, Iraq, Yaman, dan sekarang tak salah jika dikatakan Al Azhar Kairo, Mesir adalah ‘kiblat’ para intelektual muslim dari berbagai penjuru dunia Islam.
Di sana tidak ada monopoli kebenaran dan klaim kebenaran mutlak.
Lalu dimana letak titik hubung dunia pendidikan dayah dengan Al-Azhar?
Dayah/pesantren di Nusantara sejak zaman dahulu menggunakan beberapa kitab karangan ulama Al Azhar.
Antara lain, kitab Ghayah wa Taqrib karya Ahmad Qadhi Abi Suja’, Hasyiah Bajuri karangan Grand Syaikh Al-Alzhar, dan karya guru besar azhar, Imam Ibnu Qasim Al-Ghazzi, Fathul Qarib Al Mujib.
Dulu, Penulis pernah mendengar oknum alumni dayah mengatakan alumni timur tengah kebanyakan dipengaruhi aliran Wahabi.

Setelah penulis bergaul dengan puluhan alumni Timteng, menyimpulkan bahwa, Aliran sempalan itu didapat bukan dari Al-Azhar Asy-syarif tapi bisa jadi sudah bawaan dari kampung asal atau dia mendapatkan pada halaqah ilmu di seputaran kampus.
Hal ini terlihat jelas, Al-Azhar sendiri tidak pernah secara eksplisit menyatakan permusuhan dengan golongan Salafi-Wahabi, namun Al-Azhar menentang ajaran-ajaran takfiri, ajaran fanatisme buta terhadap satu madzhab atau personal, dan ajaran-ajaran Islam yang tidak berlandaskan madzhab fikih yang empat (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah).
Meski Al-Azhar memilih jalur moderat dan membuka diri dengan semua golongan dan menghormatinya dengan mereka masih sebagai ahlul qiblat, namun Al-Azhar tetap punya prinsip terutama dalam hal akidah.
Al-Azhar dalam hal ini memilih akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai pedomannya, memilih empat madzhab fikih sebagai acuan ibadah dan muammalahnya, serta memilih tariqah Sufiyah Islamiyah sebagai pegangan ajaran budipekertinya.
Nah, Jika manhaj dan acuannya sama, sebenarnya sekat pemisah antara dayah dan alumni Timteng sangatlah tipis.
Hanya sebatas jarang berbagi informasi dan saling komunikasi sehingga ada sebagian oknum alumni dayah salah berasumsi hampir semua alumni timteng Wahabi.
Karena jika ditarik garis lurus sungguh akan ketemu di titik yang sama dan acuan yang sama.
Salah satu paguyuban/ormas yang mewadahi alumni Timteng sudah membangun komunikasi positif dengan sejumlah ulama dayah.
Dan terlihat sudah membuahkan hasil positif sebagaimana diharapkan.
Namun dalam ormas yang beranggotakan ratusan orang tentu tak semudah membina biduk rumah tangga.
Terkadang ada saja ulah okum anggota yang menyiram nila ke dalam belanga.
Penulis yakin, semua itu berhasil dengan adanya pengiriman sejumlah alumni dayah salafiah ke Al-Azhar Kairo, Mesir, Yaman dan beberapa universitas lain di Timteng.
(Baca: Pemerintah Aceh Ikutsertakan Peran Ulama dalam RPJMA)
Sedikit masukan untuk suadara MI dan SM
Untuk saudara MI hendaknya membaca kembali sikap Imam Nawawi ra, ketika berziarah ke maqam Imam Syafi’i, hanya berdiri jauh dari makamnya.
Nawawi tidak berani mendekat sampai ke makam Imam Syafi’i, namun hanya dari luarnya saja, sangking ta'dhim dan hormatnya kepada Imam di mana ia ambil ilmu dan keberkahannya.
Juga jangan lupa mengulang kembali kisah Imam Syafi’i ra. tidak membaca qunut subuh pada salat di masjid yang dekat dengan makam Abi Hanifah.
Ketika Syafi’i ditanyakan, apa gerangan Sang Imam tidak baca qunut?, Padahal ia sebagai yang mengatakan qunut sunat ab’adh dalam salat.
Beliau menjawab, saya hormati Abi Hanifah dan pengikutnya di sini tidak berqunut pada salat subuh.
Untuk saudara SM, saudara jangan perpanjang masa pilkada yang melelahkan itu.
Pemerintah Aceh telah resmi dilantik. Dukung dan berkontriobusilah jika mampu.
Soal isu penertiban sektarian itu memang sebuah keniscayaan jika orang berpikir panjang.
Yang paling utama adalah kedewasaan sehingga berlaku bijak dan arif dalam menyikapi khilafiyah dan siyaasah.
Jadi, hampir bisa dikatakan impossible menyatukan paham 73 kaum itu. Mulai dari masa Khalifah Ali ra, Turki Utsmani hatta jaman now.
Tersebab manusia diciptakan berakal dan berfikir.
Memang sudah sunatullah manusia itu berbeda pandangan dalam segala hal. Yang paling penting cara menyikapinya.
Jangan kita disibukkan dengan memperdebatkan urusan furuiyyah sehingga syaitan, kafir, dan musuh Allah lainnya kehilangan musuh untuk dilawan.
Tersebab deskripsi di atas dengan alasan kenyamanan beribadah, bermuamalah dan menghindari perpecahan di tengah umat, Brunai Darussalam menetapkan mazhab resmi.
Begitu juga Saudi Arabia sekarang, melarang keras sekte lain berkembang.
Bahkan di bandara pun dirazia buku-buku yang dianggap berseberangan dengan mazhab resmi Negara.
Jadi sudah menjadi sebuah keniscayaan menetapkan mazhab ahlussunah wal jamaah tegak di bumi Aceh, dangan tanpa mengecualikan mazhab lain jika itu hanya sebatas kajian ilmiah di dayah dan ruang kampus.
Benarlah kata Dr Rusli Hasbi asal Jakarta, dari tinjaun historis dan realitas hari ini. Sudah sangat tepat di Aceh dan Indonesia mengamalkan mazhab Syafi’i.
Kalau mazhab lain, umat tidak punya referensi dan tempat bertanya. Toh, dari sononya kita memang sudah bermazhab syafi’i. Coba lihat ulama dan kitab di toko-toko semua beraliran syafi’i.
Cendikia dan Teungku Dayah saudara kandung, namun lain ibu.
Pemberian nama Kota Pelajar (Koperlma) dengan nama Syurga “Darussalam” oleh Prof Ali Hasyimi bukan seperti kata William Shakespeare: "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).
Sebaliknya, bagi umat muslim nama adalah doa, memberi nama sama artinya dengan mendoakannya.
Pepatah Arab mengatakan min ismika a’rifu abaaka (dari namamu, aku bisa mengetahui bagaimanakah ayahmu).
Jika ditinjau dari arti, sebagian ulama mengatakan, disebut darussalam karena surga adalah tempat yang terbebas dari hal yang kotor, hal yang membahayakan dan hal yang tidak disukai.
Kesamaan nama Darussalam, kotanya insan cendikia dengan Darussalam Labuhan Haji “Kota 101 ulama dayah” yang disematkan oleh Allahyarham Abuya Muda Waly, bukan secara kebetulan.
Namun tersirat makna yang mendalam bahwa kita bersaudara. Karena generasi Aceh jika semua teungku.
Siapa yang mengurus orang sakit, birokrasi dan segudang pekerjaan lainnya untuk bahu membahu membangun Aceh.
Hal ini diperkuat nama tiga lembaga pendidikan di Kopelma semua diambil dari nama ulama besar Aceh; Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri, Syekh Abdurrauf as-Singkili makruf dengan Syiah Kuala dan Teungku Chiek Muhammad Pante Kulu.
Jika dulu insan kampus dianggap berseberangan dengan insan dayah, hal ini juga terselesaikan dengan realitas hari ini sejumlah strata satu, dua, dan tiga diisi oleh insan dayah.
Jadi, dengan itu sudah terbantahkan dengan sendirinya. Karena pada hakikatnya, Cendikia Kopelma, dan Teungku Dayah saudara kandung namun lain ibu.
Wassalamu, Jabat Erat…!!!
* Mustafa Husen Woyla adalah Sekjen Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Fikih Modern, Jubir FPI Aceh, dan Guru Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.