Opini

Masihkah Ikhlas Bekerja dan Beramal?

HADIS di atas menjelaskan tentang amal perbuatan tergantung niat dan juga dibarengi dengan tulus ikhlas

Editor: bakri
Bupati Aceh Besar Mukhlis Basyah SSos didampingi Kepala Kankemenag Aceh Besar, Drs H Salahuddin MPd menyerahkan penghargaan kepada siswa berprestasi pada acara peringatan Hari Amal Bakti (HAB) Ke-71 Kemenag RI, di Lapangan Bungong Jeumpa Kota Jantho, Selasa (3/1/2017). 

Oleh Murni

“Sesungguhnya tiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya...” (HR. Bukhari-Muslim).

HADIS di atas menjelaskan tentang amal perbuatan tergantung niat dan juga dibarengi dengan tulus ikhlas kepada Allah Swt. Ini berarti tiada guna beramal tanpa niat dan juga keikhlasan. Dalam kehidupan sehari-hari, kata Ikhlas hampir setiap hari diucapkan oleh semua orang di dunia ini. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, satu kata ikhlas ini begitu familiar kedengaran di telinga. Akan tetapi pada kenyataannya, perkataan ikhlas ini sering tidak sejalan dengan perbuatan.

Bisa jadi untuk melakukan suatu perbuatan dan amalan yang dibarengi dengan keikhlasan dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan. Bahkan berliku-liku, bisa jadi pula keikhlasan itu benar-benar ikhlas dilakukan ketika hanya kepada orang-orang tertentu yang menurut kita memiliki power atau daya tarik tersendiri kepada kita. Padahal orang yang memiliki power, jabatan ataupun seorang yang memiliki daya tarik bagi kita belum tentu memberikan power atau jabatan bahkan tertarik kepada kita. Kita saja yang terlalu more self confidence (terlalu percaya diri).

Walhasil ujung-ujungnya mengumpat kepada orang tersebut. “Lelah saya bekerja untuknya tetapi tidak ada hasil.” Malah si fulan yang tidak terlalu keras bekerja, malah dia yang mendapat jabatan.” Padahal dalam hatinya mengakui dan bertanya kepada diri sendiri: “Masihkah ikhlas beramal?”

Pengertian ikhlas
Pengertian ikhlas secara etimologi adalah membersihkan sesuatu hingga menjadi bersih. Sesorang yang melakukan perbuatan semata-mata karena mengharap ridha Allah (Ensiklopedia Islam). Para ahli tasawuf mengartikan ikhlas sebagai syarat sahnya suatu ibadah seseorang. Sedangkan ulama fiqih memaknai ikhlas bagaikan jiwa (roh)-nya ibadah, sementara amal atau ibadah merupakan badan (jasmani) dari suatu pekerjaan. Keikhlasan dalam sebuah perbuatan atau amalan merupakan bentuk pengabdian kepada Allah Swt yang semestinya menjiwai setiap insan, baik ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah.

Menurut Prof Dr H Asip F Hadipranata Psy.D, dalam teorinya Shibghah mengemukakan, suatu pembahasan tentang pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Agama memaknai ikhlas beramal dengan mengurainya lewat budaya (akhlak) kerja, menjelaskan semboyan “Ikhlas Beramal” dibagi kepada kelompok dasar dan inti, sebagai berikut: Nilai dasar yang terdiri dari lima, yaitu: Pertama, ibadah sebagai niat kerja; Kedua, khidmat melayani sesama; Ketiga, loyal setia kepada NKRI; Keempat, amanah dalam musyawarah, dan; Kelima, sadar akan keadilan.

Di samping itu, ada tujuh nilai inti, yaitu: Pertama, bersih batin dan lahir; Kedua, etos kerja ditata prima; Ketiga, ramah dalam pelayanan prima; Keempat, aktif proaktif dalam bertugas; Kelima, mandiri dan bermanfaat; Keenam, aktualisasi diri, berprestasi bagi RI, dan; Ketujuh, lugas legawa mengakui kesalahan.

Semboyan “Ikhlas Beramal” sebagai suatu basic value (nilai dasar) dan care belief (keyakinan inti) terhadap pengabdian dan perjuangan warga Kementerian Agama perlu dievaluasi kembali, terutama dalam aplikasinya di lingkungan kerja. Karena sering semboyan itu diplesetkan dengan kata-kata yang mempunyai makna lain, seperti beramal seikhlasnya, ikhlas kalau dibayar, semakin besar bayaran semakin ikhlas pekerjaannya (A. Kadir, 2010).

Ungkapan seperti itu, tentunya, akan membingungkan dan merusak citra insan Kementerian Agama Republik Indonesia. Karenanya, yang perlu direnungkan kembali adalah; sebagai aparatur Kementerian Agama masihkah ikhlas bekerja dan beramal? Perlu dicerdasi bahwa begitu sakralnya nilai-nilai ikhlas beramal, bila dilaksanakan dalam aktivitas sehari-hari, karena esensi nilai itu bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran atau Hadis.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Agama bagaikan seseorang yang memakai seragam putih, jangankan kena kotoran yang melekat, terkena debu saja bisa dilihat nodanya. Artinya, pegawai di lingkungan Kementerian Agama harus menjadi pelopor kebersihan, keteladanan, bertindak dan bersikap dalam lingkungan kerja maupun di masyarakat sekitar. Karenanya semboyan “Ikhlas Beramal” harus menjadi acuan bagi setiap PNS dari tingkat atas sampai bawah, baik struktural maupun fungsional, pejabat maupun karyawan biasa.

Sumber kekuatan
Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa dan negara. Dengan semangat dan motivasi keagamaanlah menjadi sumber kekuatan dalam meraih kemerdekaan, mempertahankan kedaulatan Nasional, dan menjaga keutuhan NKRI. Agama mendapatkan kedudukan terhormat dalam tata kehidupan masyarakat, sehingga dijadikan sebagai satu sumber pembentukan hukum Nasional.

Agama menjadi ruh kehidupan kebangsaan Indonesia sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Satu contohnya adalah dengan bentuk pengabdian manusia kepada Allah Swt, yaitu melalui amal saleh yang harus digiatkan dan dijaga kesuciannya dengan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan noda di kemudian hari.

Amal saleh adalah pekerjaan yang dicintai Allah, aktivitas untuk mencari nafkah, sebagai pengabdian kepada-Nya. Untuk itu, ayat Alquran selalu menggunakan dengan lafaz amanu dan ‘amilusshalihah, yang bermakna pekerjaan yang disayangi Allah. Islam menempatkan kerja setelah iman. Artinya, iman dan amal saleh merupakan dua aktivitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bekerja merupakan manifestasi dari keimanan seseorang. Seseorang yang mengaku beriman, dia harus mampu untuk beramal saleh, bekerja dengan baik dan bertanggung jawab karena senantiasa diawasi oleh al-Khaliq.

Ikhlas dalam bekerja tertanam dalam niat yang tumbuh pada hati seseorang, niat yang ikhlas dalam beraktivitas semata-mata mengharapkan ridha Allah Swt. Orang yang mendapatkan ridha Allah akan mendapatkan dua keberuntungan yaitu keuntungan dunia dan keuntungan hari akhirat. Dengan demikian, sebagai pelayan masyarakat sudah sepatutnya aparatur Kementerian Agama lebih profesional, juga harus diwarnai dengan nilai spiritual, yaitu nilai-nilai Ilahiyah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved