Opini
Aceh Gleh, Rumeh, dan Meusaneut
MENGAWALI tulisan ini, merujuk kepada judul yaitu Gleh (bersih), Rumeh (ramah), dan Meusaneut (tertib dan teratur)
Oleh Azhar
MENGAWALI tulisan ini, merujuk kepada judul yaitu Gleh (bersih), Rumeh (ramah), dan Meusaneut (tertib dan teratur); penulis membatasi pembahasan dan analisis dalam ranah dunia pariwisata. Dalam catatan penulis, sepanjang 2017 ketiga persoalan mencuat menjadi pembicaraan agak “miring” dari tamu yang berkunjung ke Aceh.
Sejumlah kejadian yang dilansir oleh media lokal terkait situasi di beberapa destinasi wisata; seperti keluhan pengunjung terhadap kebersihan toilet di kawasan permandian air panas Ie-Seuem (Serambi, 28/12/2017). Berkaitan dengan urusan “belakang” juga dikeluhkan oleh anggota DPR RI sewaktu berkunjung ke Sabang (Serambi, 2/8/2017). Masih di kawasan wisata, pemandangan tidak indah juga ditemukan di Pelabuhan Uleelheue (Aceh Terkini, 11/7/2017), dan pelayanan di Pelabuhan Balohan Sabang belum tertib dan teratur (Serambi, 25/1/2016).
Banyak destinasi wisata
Seyogyanya suatu destinasi wisata minimal harus memiliki karakteristik 5A (attraction, accesibility, accomodation, amenity, dan awareness). Aceh memiliki begitu banyak destinasi yang menawarkan beragam atraksi wisata, mulai dari keindahan alam, laut dan gunung, maupun hasil ciptaan manusia seperti taman, museum, masjid dan makam ulama terkenal, makanan tradisional, serta adat budaya sebagai kearifan lokal yang senantiasa menjadi magnet bagi pengunjung.
Dari unsur aksesibilitas hampir semua destinasi wisata di Aceh sudah dapat dijangkau dengan berbagai jenis pengangkutan baik darat, laut maupun udara. Demikian pula akomodasi, Aceh memiliki berbagai jenis penginapan mulai dari hotel bintang 4 hingga penginapan jenis kelas melati, bahkan penginapan masyarakat (homestay). Tingkat hunian kamar hotel cenderung meningkat di pengujung tahun, karena bertepatan dengan tingginya aktivitas pemerintahan lazim menyelenggarakan kegiatan di hotel maupun momen liburan sekolah.
Syarat lain yang harus dimiliki suatu destinasi wisata adalah amenitas antara lain tersedianya toilet, ruang ganti pakaian, taman, keindahan, kebersihan lingkungan destinasi wisata serta ketertiban dan keteraturan sehingga pengunjung merasa nyaman selama berada di destinasi wisata.
Terakhir adalah kesadaran masyarakat. Hal ini menjadi sangat penting sebab pengunjung ketika kembali ke rumah atau negara masing-masing, selain membawa oleh-oleh seperti sovenir (bentuk benda), mereka juga membawa kesan (image/bukan benda). Artinya, tamu selama berada di destinasi wisata senantiasa melakukan aktivitas menikmati (something to see), beraktivitas (something to do) dan berbelanja (something to buy).
Oleh karena itu, pengembangan pariwisata di suatu daerah harus selalu mengacu kepada konsep 5A dan elemen-elemen di dalam saling terkait satu sama lainnya. Istilah gleh, rumeh, dan meusaneut dalam konsep 5A terdapat pada unsur amenitas dan kesadaran. Dalam konsep Sapta Pesona (keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan, dan kenangan) juga ada di sana.
Unsur-unsur yang terkait dengan gleh, rumeh, dan meusaneut juga menjadi ajaran agama Islam. Gleh dan meusaneut berkaitan dengan kondisi tempat atau destinasi di mana atraksi wisata dipersembahkan oleh pelaku wisata. Sedangkan rumeh berkaitan dengan sifat yang dimiliki oleh manusia. Kita sangat fasih menghafal Peumulia Jamee Adat Geutanyoe, namun sampai sejauh mana kita sudah mengimplementasikan hadis maja tersebut dalam kehidupan kita?
Sudah sepatutnya, suatu destinasi wisata bersih tempatnya, ramah pelaku wisatanya dan tertib dan teratur. Ketika kita gagal menerapkan ketiga hal tersebut, artinya kita telah gagal menerapkan konsep 5A, Sapta Pesona dan bahkan kita telah “mengecilkan” nilai ajaran Islam, misalnya dalam konteks kebersihan, bersikap ramah kepada tamu.
Jika sebelum ini, pemerintahan Irwandi-Nova memiliki program unggulan antara lain; bidang kesehatan (Aceh Seujahtera), pendidikan (Aceh Carong), pertanian dan ketahanan pangan (Aceh Troe/Aceh Meugoe), kelistrikan (Aceh Teunaga), bidang pemuda (Aceh Teuga), bidang budaya (Aceh Meuadab), lingkungan (Aceh Green), bidang data dan informasi (Aceh SIAT).
Gerakan masif dan sinergis
Mengingat begitu pentingnya unsur bersih (gleh), ramah (rumeh), dan teratur dan tertib (meusaneut) dalam pengembangan industri pariwisata, maka gerakan masif dan sinergis harus segera dilakukan. Pertanyaannya, siapa yang berperan mewujudkan Aceh gleh, rumeh dan meusaneut dalam dunia pariwisata Aceh? Menurut hemat penulis, gerakan tersebut harus dilakukan oleh pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Ketiga aktor tersebut akan memainkan peran sesuai dengan kapasitas masing-masing. Sebagai ilustrasi, gleh, rumeh, dan meusaneut itu dapat dimulai dari Bandara Sultan Iskandar Muda (tempat pertama tamu menginjak kaki). Di sini, tunjukkan bahwa Aceh itu bersih dan ramah. Tunjukkan juga bahwa kita tertib dan teratur; melayani tamu. Contoh dekat, kita bisa lihat bagaimana Bandara Kualanamu, Medan menjaga kebersihan, kerapian dan ketertiban di luar dan dalam bandara.
Selain di bandara, tempat penting lain adalah penginapan. Tamu harus disambut dengan penuh keramahan, mulai dari pintu masuk hotel dan selama mereka menginap. Jika memungkinkan, setiap penginapan diwajibkan untuk membuat persembahan kebudayaan Aceh, seperti tari-tarian penyambut tamu. Kewenangan untuk melaksanakan bentuk-bentuk kearifan lokal Aceh ada di pihak manajemen hotel, tentu dengan kontrol dari pemerintah (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan).
Dengan demikian, ke depan kita tidak mendengar lagi ada hotel yang menyelenggarakan acara yang dalam pandangan masyarakat di sini tergolong tabu. Selain bandara dan hotel, destinasi wisata yang akan dikunjungi juga harus dapat mewujudkan konsep gleh, rumeh dan meusaneut. Pengalaman penulis mendampingi tamu baik domestik maupun luar negeri, di destinasi tertentu masih sering dijumpai sampah berserakan, parkir kenderaan tidak teratur, ditambah lagi kondisi toilet yang tidak layak.