Opini

Jangan Membunuh

BELUM sampai 100 jam, pasca ditemukannya tiga mayat dalam rumah toko (ruko) di Gampong Mulia Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh

Editor: bakri
KOLASE SERAMBINEWS.COM/IST
Kolase foto Ridwan (22), tersangka pelaku pembunuhan satu keluarga keturunan Tionghoa di Gampong Mulia, Banda Aceh, dua hari lalu. 

Oleh Muhammad Yakub Yahya

BELUM sampai 100 jam, pasca ditemukannya tiga mayat dalam rumah toko (ruko) di Gampong Mulia Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh, ‘orang dekat’ korban pun dibekuk polisi di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara (Sumut), Kamis (10/1). Dengan terungkap ini, bertambah lagi aktor pembunuh, pelaku orang dekat. Beberapa kasus pembunuhan sadistis di nanggroe meutuah Aceh, dan wilayah lain, pelakunya masih famili korban. Pelakunya bisa “oknum orang dekat”: warga yang sehari-hari bekerja sama, sama-sama berkerja, cari nafkah saban-saban dan sabe-sabe. Ini bagaikan pagar makan tanaman.

Empat tahun silam, berdekatan dengan Jalan T Panglima Polem Gampong Mulia yang tetanggaan dengan Peunayong itu, di kediaman dosen Fakultas Ushuluddin UIN Ar Raniry, Abd Djalil Jacob (60 tahun), jadi sasaran amuk belasan orang. Ironisnya, penyerangan di Jalan Setia, Gampong Keuramat, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh itu, diotaki keponakan korban sendiri, yang tak senang ditegur oleh pamannya tersebut (Serambi, 15/12/2013). Sejatinya paman ayomi keponakan, dan keponakan hormati paman, ayah sayang anak, anak hormati orang tua, suami cinta dan setia pada pasangannya. Anak buah hargai bos atau majikan. Juga ustaz lindungi santrinya.

Ini hanya contoh, empat tahun lalu juga, satu paman membunuh keponakannya, di samping kampung kita. Ulah oknum paman, yang bukan paman baik, tertragis misalnya di sini, di seberang sungai dari Gampong Mulia, yang menimpa murid kelas 1 SD 17 Peulanggahan (Diana) yang dicekik sambil diperkosa paman (Hasbi) dan dibantu mantan residivis (Amiruddin), usai main di Taman Sari (Serambi, 19/3/2014), membuat kita terenyuh, geleng-geleng kepala (meu-asek ulee teuh).

Namun, selalu ada hikmah di balik tragedi, seakan sekali-sekali kian benarlah kata-kata ini: jangan gampang mempercayai siapa pun, meski orang dekat! Jemput anak begitu pulang ngaji, usai pulang sekolah, kenakan busana islami pada anak kita, sejak dini, di rumah dan luar rumah! Akhirnya, Hasbi divonis hakim 9,5 tahun (9 tahun, 6 bulan) penjara plus denda Rp 60 juta. Sedangkan tersangka lainnya, Amiruddin divonis 19 tahun penjara, denda Rp 100 juta atau bisa diganti hukuman tambahan (subsider) enam bulan penjara. Ia terbukti memerkosa dan membunuh Diana (Serambi, 15/8/2013).

Tujuh tahun silam (Februari 2011), kisah tragis paman (Ibrahim di Gampong Doy, Ulee Kareng, Banda Aceh, yang mencekik keponakan hingga menemui ajal. Lalu, ada warga meninggal dikeroyok massa, warga diculik, dayah dibakar lantaran dituduh sesat, atau tragedi lainnya, tapi air mata sulit kering. Keluarga korban dan saksi yang main hakim sendiri, dan korban mengelak tanggung jawab, memang sama-sama salah. Vonis pun sudah diketuk buat ‘paman’ Ibrahim, dan kini dia sedang dalam penjara. Menyesalkah napi, juga napi narkoba, yang diasimilasi juga itu?

“Perampok menyesali hukumannya, tetapi tidak menyesali perbuatannya,” kata pepatah, pada pelaku kriminal di pojok dunia mana pun. Kita ingin membisik nurani kita untuk melihat beberapa sisi keseharian teman, orang dekat, di Aceh hari ini. Juga pembaca berita pembunuh di Aceh Barat Daya (Abdya), Edi Syahputra (25), yang divonis mati kemarin (8/1), atas kasus pembunuhan dua anak dan ibu mertua pejabat.

Nyawa berapa satu?
Allah melarang kita membunuh, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra’: 31 dan 33).

Andai di antara kita, yang bukan pemerintah, melakukan pelanggaran (pembunuhan, misalnya) terhadap pihak lain atau pembangkangan terhadap negara ini, maka hukum menyebutnya, itu jenis kejahatan atau subversif. Kalau negara yang melakukannya terhadap warga, lewat institusi dan kebijakan yang ternyata diduga dan terbukti keliru, maka hukum menamakan pelanggaran HAM. Andaikata tidak ada warga yang bertanggung jawab: siapa pembunuh, penculik, peluka, pembakar, dan seterusnya, maka pemerintah yang bertanggung jawab.

Secara fiqh, diyat berupa pembayaran denda dalam bentuk hewan, misalnya unta. Pemberian tunai ini satu hak korban atau keluarganya yang ditinggal mati, karena disiksa, diculik, atau dihilangkan. Kasus Ibrahim yang mencekik keponakan, kasus pembunuh ‘waria’ salon keliling beberapa tahun lalu di Banda Aceh, kasus di Abdya, pembunuhan di Gampong Laksana, dan lainnya, bisa terjerat dengan bab ini. Karena diyat merupakan hak korban dan bukan kewajiban semata, maka ia memang wajib dituntut, meskipun tidak mesti disimposiumkan dan diseminarkan terus, didemo, dan dicaci maki dulu pelakunya, lalu rela atau tidak rela baru membayar kewajibannya itu.

Pelaku dan korban punya beberapa persyaratan fiqh yang sangat ketat dan selektif. Persyaratan itu misalnya yang terlibat itu muslim, kafir atau zimmi, dewasa atau anak-anak, waras atau gila, merdeka atau dalam perbudakan, dalam korp kesatuan atau sendirian. Sehingga menuduh dan menghukum terpidana dalam syariat Islam tidak serampangan tanpa cukup persyaratan dan pembuktian.

Begitu juga dengan diyat yang biasa diganti dengan hewan piaraan atas pembunuhan yang dimaafkan, atau ada persyaratan lain. Jika di daerah Aceh ini tidak punya hewan seperti binatang di Arab itu, maka diyat tersebut dihitung pasti dalam kurs menurut ukuran keuangan setempat (rupiah, ringgit atau dolar). Diyat atau yang Barat sering menyamakan dengan blood money, diberikan kepada pihak korban yang telah memaafkan pihak tertuduh.

Diyat itu pembayaran satu nyawa dengan 100 ekor unta lewat beberapa kategori usianya. Sebagian ulama menyamakannya dengan 200 ekor kerbau atau sapi, sama dengan 2.000 ekor bambing atau domba. Dalam kurs lain dengan 1.000 dinar, atau 12 ribu dirham. Ini dua mata uang yang stabil di pasaran global. Dan kalau pemberian di bawah takaran itu, mari kita sebut nama lain, tapi tidak mesti ‘diyat’.

Angka di atas jelas untuk satu jiwa. Lantas bagaimana jika ribuan nyawa, mampukah uang kita? Kecuali ada kemaslahatan dan penafsiran ringan lain; tetapi dalam bab hudud, yang bukan ta‘zir, biasanya jenis hukuman itu harus pas. Harapan hukuman setimpal bahkan vonis mati bagi pembunuh, juga disampaikan oleh Gubernur Irwandi Yusuf di depan para jaksa Aceh (9/1/2018).

Si tertuduh itu telah jelas hukumannya yang diputuskan bukan lewat main hakim sendiri, kayak amuk massa sekarang, tapi berdasarkan bab, pasal, ayat dan sub ayat dari kitab Allah Swt dan Sunnah Nabi saw. Atau berlandasan kitab undang-undang, baik warisan dari ulama klasik, tradisional, tekstual, maupun dari ulama kontemporer, modern, kontekstual. Tentu dari fatwa-fatwa atau pemikirannya yang serasi dan relevan tergantung di mana ulama dan masyarakat meneladaninya. Ulama yang bertakwa, menurut hadis, mewarisi anbiya’ dalam misi kenabian dan tugas kerasulan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved