Opini

Umrah ke Yerussalem

SEBAGIAN pembaca mungkin kaget ketika pertama sekali membaca judul tulisan ini

Editor: bakri
AFP/Thomas Coex
Bendera Israel berkibar di dekat Masjid Kubah Batu Al Aqsa pada 5 Desember 2017. 

Oleh Mizaj Iskandar

SEBAGIAN pembaca mungkin kaget ketika pertama sekali membaca judul tulisan ini. Umrah kok ke Yerusalem, bukannya ke Mekkah? Umrah yang penulis maksudkan dalam judul di atas adalah umrah dalam pengertian etimilogis, bukan dalam pengertian terminologis (syar’an).

Kata umrah secara bahasa mengandung makna ziarah atau berkunjung. Dalam pengertian ini, tidak ada yang salah dengan frasa “Umrah ke Yerussalem”, karena yang dimaksudkan bukanlah umrah dalam pengertian melakukan ihram, thawaf, sa’i, dan tahalul, melainkan umrah dalam artian berkunjung atau berziarah ke tempat yang disucikan di dalam agama.

Terlebih lagi, jika kita kembali membuka lembaran hadis, niscaya kita akan temukan sebuah hadis Nabi saw yang menganjurkan bersusah payah (syiddah al-Rihal) dalam mengunjungi tiga masjid; Masjidil Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsa yang terletak di Yerusalem. Sekali lagi hadis Nabi tersebut melegitimasi judul tulisan ini.

Kota Yerusalem
Kebetulan belum lama ini penulis berkesempatan mengunjungi kota Yerusalem, yang sekarang berada di bawah kontrol Israel. Ada yang unik dengan kota ini. Di Yerusalem, penduduknya memiliki tiga kewarganegaraan, yaitu ada yang memegang kewarganegaraan Yordania, Palestina, maupun Israel.

Secara politis kota ini di bagi menjadi dua bagian, Yerussalem Timur dan Yerussalem Barat. Yerusalem Timur dihuni oleh mayoritas Arab Muslim, sedangkan Yerusalem Barat dihuni oleh orang-orang Yahudi. Sebelum 1967, Yerusalem Timur berada di bawah kontrol Yordania. Namun kemudian Israel menduduki daerah ini dan mengklaimnya sebagai wilayah mereka.

Klaim Israel tersebut tidak pernah mendapatkan persetujuan dunia Internasional. Bahkan PBB mengusulkan agar Yerusalem Timur menjadi kota Internasional. Yerusalem Timur inilah yang diklaim sepihak oleh pemerintah Donald Trump (President Amerika Serikat) sebagai ibu kota Israel Raya dengan memindahkan kedutaan mereka dari Tel Aviv (67 km dari kota Yerusalem) ke Yerusalem Timur.

Secara kultural, kota Yerusalem dibagi dalam dua wilayah, yaitu Old Yerusalem (kota tua) dan New Yerusalem (kota baru). Di New Yerusalem terlihat kehidupan yang sudah sangat modern, bahkan cenderung kebarat-baratan. Tidak jarang terlihat di tengah kota New Yerusalem pemuda-pemudi menggunakan pakaian modis ala selibriti Barat. Sedangkan Old Yerusalem terdiri dari kota benteng yang dikelilingi tembok-tembok besar yang memiliki delapan pintu gerbang masuk.

Kota tua Yerusalem yang memiliki luas lebih kurang 9 km persegi dibagi ke dalam empat wilayah (four quarters). Keempat wilayah tersebut masing-masing adalah wilayah Muslim sebagai wilayah mayoritas, Yahudi, Kristen, dan Armenia.

Keempat komunitas tersebut hidup berdampingan. Hal ini tidak seperti yang digambarkan oleh media masa. Bahkan tidak jarang ditemukan beberapa polisi atau tentara berseragam merupakan seorang Muslim. Saya sendiri bertemu dengan seorang polisi Israel berseragam lengkap yang shalat dan mengaji di dalam Masjid Qubah al-Shakhrah.

Yerusalem merupakan kota suci bagi tiga agama besar dunia. Islam, Kristen dan Yahudi menjadikan Yerusalem sebagai satu distinasi ziarah (baca: umrah) mereka. Bagi umat Islam, misalnya, Yerusalem merupakan tempat beradanya Masjid al-Aqsa yang merupakan kiblat pertama umat Islam, sebelum Kakbah di Mekkah. Selain itu, di komplek al-Quds al-Syarif juga terdapat Qubah al-Shakhrah yang diyakini umat Islam sebagai tempat terakhir sebelum Rasulullah saw dilontarkan ke Sidratul Muntaha dalam peristiwa Israk dan Mikraj.

Bagi Yahudi di Yerusalem terdapat Tembok Ratapan (Western Wall) yang biasanya digunakan sebagai tempat memanjatkan doa kepada tuhan Yehwa. Dalam keyakin Judaisme, Tembok Ratapan diyakini sebagai “telinga tuhan” yang dapat mendengarkan setiap doa yang dipanjatkan ditempat tersebut. Tidak mengherankan jika di pelataran Tembok Ratapan (Western Wall Plaza) didapati banyak orang Yahudi sangat khusyuk berdoa. Bagi orang Yahudi yang tidak berkesempatan berziarah langsung ke tembok ratapan, dapat mengirimkan doa yang dituliskan dalam secarik kertas (kaddish) dan kemudian kertas itu disisipkan pada celah-celah tembok ratapan (kvitelach).

Sedangkan bagi umat Kristen di Yerusalem terdapat situs suci seperti Gereja Makam Kudus (Church of Holy Sepulcher) yang diyakini sebagai tempat disalibnya Yesus Kristus. Di tempat lain, di antara Yerusalem dan Tepi Barat (West Bank) juga terletak Betlehem yang diyakini sebagai tempat kelahiran Yesus Kristus.

Tempat-tempat suci tersebut menjadikan Yerusalem tidak pernah sepi dari para penziarah dari seluruh pelosok dunia, terutama yang beragama Yahudi dan Kristen. Sedangkan penziarah yang beragama Islam terlihat “kurang berminat” berziarah ke Yerusalem dari dua penganut agama sebelumnya.

Kurang berminat
Dalam amatan saya setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan kurang berminatnya umat Islam berkunjung ke Yerusalem: Pertama, faktor Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah yang dianggap lebih “islami” dibandingkan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Padahal jika diperhatikan, Nabi tidak membedakan ketigannya dalam kemestian berpayah-payah dalam mengunjunginya;

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Indahnya Islam 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved