Opini
Permasalahan Pupuk Bersubsidi di Aceh
PETANI kita kerap dihadapkan pada masalah klasik, yaitu kelangkaan pupuk. Dari tahun ke tahun kekurangan
Oleh Anwar Deli
PETANI kita kerap dihadapkan pada masalah klasik, yaitu kelangkaan pupuk. Dari tahun ke tahun kekurangan pasokan pupuk selalu berulang. Pupuk sulit dicari dan entah menguap kemana, sedangkan masa menabur pupuk sudah tiba dan tidak bisa ditunda-tunda. Kalaupun ada, harganya melambung minta ampun. Harga eceran tertinggi yang mestinya Rp 1.900/kg, di pasar bisa mencapai Rp 2.500/kg. Kejadian ini terus berulang, sehingga sulit melepaskan diri dari masalah-masalah yang sangat mendasar dan terus berlanjut tanpa solusi yang memadai.
Pupuk merupakan sarana produksi yang sangat penting bagi sektor pertanian. Pupuk menyumbang 20% terhadap keberhasilan peningkatan produksi pertanian, khususnya beras antara 1965-1980 dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984. Pupuk pun berkontribusi 15-30% untuk biaya usahatani padi. Dengan demikian sangat penting untuk menjamin ketepatan harga, waktu, jumlah dan kualitas.
Berita Harian Serambi Indonesia (Jumat, 26/1/2018), “Pupuk Langka di Sejumlah Daerah” menjadi berita headline. Petani padi di Aceh mengaku kesulitan mendapatkan pupuk urea bersubsidi di kios-kios resmi pengecer di kecamatan. Padahal, pupuk tersebut sedang dibutuhkan oleh petani karena sekarang sudah masuk musim tanam. Menurut Kadis Pertanian dan Perkebunan, Hasanuddin Darjo melalui Kabid Produksi, Mukhlis menyatakan kuota pupuk urea bersubsidi untuk Aceh pada 2018 ini sebesar 75.420 ton sudah dibagikan ke masing-masing kabupaten/kota.
Sejumlah petani mengaku pusing tujuh keliling memasuki musim tanam Januari ini. Mereka kesulitan untuk mendapatkan pupuk subsidi terutama jenis urea pada kios-kios pengecer, karena barangnya tidak ada. Padahal pupuk jenis ini sangat dibutuhkan sebagai pupuk dasar dan ketika umur tanaman padi 40 hari.
Kekurangan pupuk akan berpengaruh nantinya terhadap produksi, dan produktivitas tanaman padi bisa menurun. Kehilangan dan penurunan produktivitas tanaman padi sekitar 1-1,5 ton/ha membuat petani kehilangan pendapatan dan rugi besar. Seandainya harga gabah pada masa panen Rp 5.000/kg, dikali dengan 1 ton (1.000 kg), maka petani padi bisa kehilangan pendapatan Rp 5 juta-Rp 7,5 juta/ha.
Dampak lain langkanya pupuk tersebut memaksa menunggu untuk melaksanakan musim tanam. Ini tentunya berakibat terhadap tidak serentaknya musim tanam yang dijadwalkan pada Desember-Januari lalu. Dikhawatirkan, panen mendatang berakibat pada stagnannya produksi bahan pangan, terutama beras dan jagung. Jika petani memilih tidak memupuk lahan mereka. Akibatnya, puluhan hektare lahan petani terancam gagal panen.
Kekurangan pupuk dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang tidak normal, sehingga menurunkan hasil panen petani menurun atau bahkan gagal panen. Gagal panen inilah yang selanjutnya menjadi ancaman dalam menciptakan ketahanan pangan. Jika situasi kelangkaan pupuk dibiarkan berlangsung lama dan tidak segera diambil tindakan yang tepat oleh instansi terkait, akan mengakibatkan timbul rasa kurang adil kepada petani, menurunkan tingkat kesejahteraan petani, mengganggu ketahanan pangan dan keberlangsungan produksi pertanian nasional, serta dapat menekan pertumbuhan ekonomi daerah/nasional.
Bagi masyarakat umum khususnya kalangan awam, kelangkaan pupuk setiap tahun yang kerap terjadi menimbulkan satu pertanyaan; Apa akar masalahnya? Penyebab bukan hanya satu faktor saja.
Sangat kompleks
Permasalahan pupuk subsidi sangat kompleks. Banyak unsur yang terlibat dalam penyediaan pupuk bersubsidi ini, mulai dari petani, regulator, produsen, distributor, dan pengecer. Terdapat permasalahan pada aspek pendataan, penganggaran, penyaluran/ distribusi, dan pengawasan dari pelaksanaan program pupuk subsidi.
Rangkaian beberapa situasi yang menyebabkan kasus kelangkaan pupuk ini masih terjadi: Pertama, di tingkat petani. Penyebab kekurangan pupuk subsidi ini akibat kelengahan kelompok tani mengirim dokumen RDKK (Rencana Dasar Kebutuhan Kelompok) sebagai cara menentukan kuota kebutuhan pupuk bersubsidi.
Caranya, kelompok tani mengajukan rencana definitif kebutuhan pupuk. Setelah disetujui pejabat dinas setempat, kebutuhan itu bisa dicairkan ke distributor. Ironisnya banyak petani yang tak bisa menyusun RDKK. Dalam Pengisian RDKK petani hanya terpokus pada tanaman pangan saja tetapi lupa disana ada tanaman palawija, hortikultura, peternakan dan perkebunan lain yang juga membutuhkan pupuk. Hingga muncullah masalah alokasi pupuk tidak tepat jumlah.
Dinas Pertanian menghitung kebutuhan pupuk bagi setiap daerah berdasarkan luas lahan dan pemakaian pupuk normal setiap hektarenya. Persoalannya, basis data yang digunakan dalam menentukan luas lahan ini masih simpang-siur, tidak berbasis lapangan dan tidak diperbarui, baik antara Dinas dan BPS, padahal lahan pertanian dan perkebunan terus berubah.
Selain itu, perhitungan dosis yang ditentukan Dinas biasanya berbeda dengan kebiasaan para petani. Petani kita sering kelebihan dosis dalam penggunaan pupuk pada pola tanamnya. Penggunaan dosis juga bervariasi untuk masing-masing komoditas bahan pangan. Implikasinya, kebutuhan pupuk bersubsidi oleh petani bisa jauh di atas alokasi yang ditentukan pemerintah.
Kedua, di tingkat regulator, selama ini instansi yang berwenang menentukan regulasi tata niaga pupuk adalah Kementerian Perdagangan (Kemendag) atau Dinas terkait di setiap daerah. Lembaga ini mengatur wilayah penyaluran atau rayonisasi pemasaran pupuk bersubsidi serta menentukan produsen pupuk (holding) yang memiliki kewajiban mengadakan dan mengalokasikan pupuk bersubsidi beserta distributornya pada tingkat kabupaten. Panjangnya mekanisme realokasi pupuk bersubsidi dari satu wilayah ke yang lainnya yang perlu izin pemerintah daerah seperti pemerintah kabupaten atau provinsi, sehingga kerap terjadi keterlambatan.