Opini

Intelektual Rabun Dekat

BUKANLAH ablepsia yang hendak diperkarakan di sini. Bukan soal intelektual-intelektual yang harus mengenakan

Editor: bakri
Google
Ilustrasi 

Lalu kalau sudah hidup enak, untuk apa menyibukkan diri mengkritik penguasa jauh? Kritik terhadap penguasa jauh hanya akal-akalan intelektual rabun dekat untuk menutupi perangai aslinya yang penakut. Kritik dilontarkan memperoleh penilaian “sosok yang berani dan kritis” dari masyarakat. Persepsi positif dari publik jadi tujuan utamanya.

Namun dalam relasi yang lebih politis, di mana intelektual bersimpati pula pada partai politiknya penguasa dekat, kritik terhadap penguasa jauh tidak semata didorong oleh faktor penilaian tersebut. Tekanannya lebih kepada sentimen politik, yakni peluapan perasaan tidak suka/setuju pada orang-orang dari partai politik pesaing.

Lebih-lebih jika afinitas politik itu sudah mengental menjadi afiliasi politik, saat di mana intelektual secara formal telah menjadi partisan, aktif mengkritik penguasa jauh dari partai politik pesaing menjadi salah satu yang dituntut padanya. Sementara dalam relasi yang sebatas orang dengan orang, intelektual menjadi “diam” saja sudah cukup bagi penguasa yang tidak suka dikritik.

Baik menjadi simpatisan atau anggota, dalam kedua posisi ini intelektual rabun dekat juga akan mengalami “rabun jauh”. Tidak lagi mereka bisa jernih melihat dan menyikapi realitas di daerah-daerah lain yang dipimpin oleh penguasa yang tergabung dalam partai politik yang sama dengannya. Meski di sana juga ada penyelewengan kekuasaan dan nyata dampak-dampak buruknya bagi kehidupan umum.

Akhirnya cukup perlu menuntut orang-orang yang kita anggap intelektual memiliki “keberanian pada yang dekat dan yang jauh”; memiliki keberanian yang utuh dan amuh adil dalam bersikap. Meski nantinya tuntutan ini pasti dimasabodohkan, karena tentu berat rasanya keluar dari mandala politik yang “aman” tempat tetasan-tetesan kenikmatan dari kepala daerah atau legislator lokal bisa dicecap.

Mana mau orang kehilangan semua itu. Mana rela orang tidak lagi kebagian anggaran penelitian tahunan hanya demi tidak disebut “intelektual rabun dekat”; hanya demi bisa melihat realitas sekitar dengan jernih; hanya demi mendapat predikat “intelektual berprinsip” yang jelas-jelas tidak bisa mengenyangkan. Bukankah sanjungan orang tidak bisa dimakan?

* Bisma Yadhi Putra, esais. Email: bisma.ypolitik@gmail.com

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved