Beratnya Perjuangan Hidup Para Petani Ini, Bekerja Usai Subuh Sampai Malam, Dapat Uang Rp 40.000

Sehari-hari mereka mendapatkan uang Rp 75.000-Rp 100.000. Angka itu masih kotor atau belum dihitung harga kayu bakar dan tetek bengek lainnya.

Penulis: Abdullah Gani | Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/ABDULLAH GANI
Anak-anak membantu orang tuanya memproduksi garam, di Gampong Lancang Paru Kecamatan Bandarbaru, Pidie Jaya, Minggu (11/2/2018). 

Laporan Abdullah Gani | Pidie Jaya

SERAMBINEWS.COM, MEUREUDU – Hidup sebagai petani memang penuh suka dan duka.

Khusus di Indonesia, termasuk Aceh, kehidupan para petani lebih banyak dukanya ketimbang suka.

Seperti yang dirasakan oleh 106 kepala keluarga di Gampong Lancang Paru Kecamatan Bandarbaru, Pidie Jaya.

Mereka, yang merupakan bagian dari 400 kepala keluarga (KK) Gampong Lancang Paru, mengandalkan pendapatan dari usaha menghasilkan garam tradisional.

(Baca: Sosok Pria yang Bikin Hotman Paris Menangis Karena Sujud di Kakinya, Rela Membela Meski Tak Dibayar)

Kendati menggeluti  usaha tersebut sudah berkalang tahun, namun perhatian pemerintah terutama dari dinas terkait hampir tidak ada sama sekali. Padahal, pengrajin garam sangat butuh bantuan modal.

Akibat ketiadaan biaya, sehingga usaha yang dilakukan bagaikan “hidup segan, mati tak mau”.

Hanya berbekal fasilitas seadanya, seperti gubuk reot yang sudah usang malah nyaris roboh dan dapur seadanya, di sanalah sehari-hari warga mencari rezeki.

(Baca: Sosok Gadis Aceh Calon Istri Tommy Kurniawan, Masih Muda dan Cantik, Lihat Foto-fotonya di Sini)

Dikunjungi Serambinews.com, Minggu (11/2/2018), beberapa ibu rumah tangga dengan nada pilu mengisahkan keprihatinan perjalanan hidup sebagai petani garam.

Saat itu, beberapa anak memanfaatkan waktu libur sekolah untuk membantu orangtunya memproduksi garam. 

Bocah ini membantu orang tuanya memasak air laut untuk memproduksi garam, di Gampong Lancang Paru Kecamatan Bandarbaru, Pidie Jaya, Minggu (11/2/2018).
Bocah ini membantu orang tuanya memasak air laut untuk memproduksi garam, di Gampong Lancang Paru Kecamatan Bandarbaru, Pidie Jaya, Minggu (11/2/2018). (SERAMBINEWS.COM/ABDULLAH GANI)

Para petani garam ini mengatakan, mereka mulai bekerja seusai shalat Subuh hingga siang hari atau sampai air yang dimasak menjadi garam.

Sorenya mereka dibantu anak-anaknya masing-masing kembali bergelimang dengan tanah. Menggaruk tanah untuk persiapan hari esoknya.

(Baca: Abusyik Maju Calon Ketua PA)

Sehari-hari mereka mendapatkan uang Rp 75.000-Rp 100.000. Angka itu masih kotor atau belum dihitung harga kayu bakar dan tetek bengek lainnya.

“Paling-paling, kami hanya dapat Rp 30.000-Rp 40.000/hari,” ungkap seorang ibu yang namanya minta tidak ditulis.    

Angka itu tentu sangat jauh dari beban pekerjaan yang mereka lakoni sehari-hari.

Belum lagi, mereka tidak bisa bekerja ketika masuk musim penghujan seperti September hingga Desember bahkan sampai Januari.

Hampir tiga bulan selama setahun, para petani ini harus mencari kerja lain, karena ladang garam mereka kebanjiran.

(Baca: Duterte Perintahkan Angkatan Laut Tembak Semua yang Mencuri di Perairan Filipina)

Keuchik Lancang Paru, M Jafar Usman membenarkan, lebih seratus warganya hidup dari hasil pembuatan garam.

Sedihnya lagi, isu tidak higenisnya garam yang diproduksi rakyat, membuat kehidupan mereka semakin terpuruk.

Mereka risau dan khawatir jika usaha yang sudah turun temurun itu akan berakhir karena tidak mampu bersaing dengan garam pabrikan.

“Maunya, jika dikatakan garam itu tidak bersih, pemerintah hendaknya membantu peralatan sehingga garam yang dihasilkan rakyat lebih baik sebagaimana yang diharapkan,” ungkap M Jafar Usman.

Baca: Pembahasan Lambat, Irwandi Tegur TAPA

Kendala lain yang dihadapi, adalah ketiadaan pompanisasi untuk menyuplai air asin ke lahan penggaraman.

“Usaha yang digeluti rakyat saya itu boleh dikatakan belum tersentuh bantuan dari pemerintah,” kata Jakfar Usman.

Ya, andai pemerintah memberikan perhatian dan memberdayakan petani garam, juga petani sektor lain, dengan menyediakan fasilitas, serta mengawasinya dengan serius, tentunya suatu saat kehidupan tidak lagi identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved