Opini
Tafsir Kuno ‘Aceh Carong’
SISWA SMA protes Dinas Pendidikan (Disdik). Serambi Indonesia memberitakan itu beberapa hari lalu
Oleh Affan Ramli
SISWA SMA protes Dinas Pendidikan (Disdik). Serambi Indonesia memberitakan itu beberapa hari lalu. Pasalnya, Disdik Aceh secara sepihak menunda Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) berdasarkan alasan yang cukup kuno. Disdik berambisi tahun ini Aceh masuk sepuluh besar nilai tertinggi Ujian Nasional (UN) sebagai bagian dari pencitraan program Aceh Carong mulai berjalan. Karena itu para siswa diminta fokus ke UN dulu, USBN dilaksanakan kemudian. Seorang pegawai Disdik memberitahukan para siswa bahwa kebijakan penundaan ini sesuai arahan Gubernur Irwandi Yusuf.
Saya tidak percaya pikiran gubernur kita setertinggal itu memahami prestasi pendidikan. Sangatlah kuno mengukur keberhasilan program Aceh Carong dengan nilai UN para siswa kita. Karenanya bagi saya, usaha Disdik kali ini membangun citra pendidikan Aceh dari nilai UN tidak mungkin terhubung dengan arahan gubernur. Kebijakan Disdik harus dibaca sebagai penanda menguatnya tafsir sempit birokrat dalam menerjemahkan realisasi program Aceh Carong Irwandi-Nova.
Memang, Aceh Carong jika sepenuhnya diserahkan pada tafsir birokrat hasil akhirnya sudah dapat diketahui dari sekarang. Nyaris pasti, tidak akan ada perubahan fundamental apa pun dalam kebijakan pendidikan kita lima tahun ke depan. Itu karena diskusi pendidikan di kalangan birokrat kita tidak mengalami perkembangan berarti dalam 70 tahun terakhir. Masih berputar-putar lebih kurang seputar peningkatan fasilitas dan infrastruktur sekolah, pemerataan guru, pelatihan guru, ujian-ujian berstandar, dan kompetisi-kompetisi jenis cerdas-cermat atau olimpiade. Satu-satunya isu baru yang dibahas di Disdik kita selama dua dekade terakhir adalah pendidikan islami. Itu pun dipahami secara dangkal dengan menambah jam mata pelajaran Agama atau program diniah di sekolah umum.
Berkembang dinamis
Di belahan bumi lain, program-program pendidikan pemerintah berkembang dinamis mengikuti perubahan paradigma baru para ahli pendidikan. Tengoklah bagaimana pendidikan kritis Freire diadopsi pemerintah beberapa negara latin. Lihat juga bagaimana teori kecerdasan majemuk Gardner dijadikan dasar pembuatan kebijakan pendidikan pemerintah di banyak negara, atau teori pendidikan poskolonial yang mempengaruhi pemerintah berbagai negara Afrika. Dalam skala lokal, Pemko Surabaya dalam empat tahun terakhir mengembangkan kebijakan pengelolaan sekolah dan pengajaran berbasis konsep multiple intelligences. Perkembangan paradigma dan diskursus pendidikan di beberapa negara maju, bahkan telah mendorong pemerintahnya menghapus model evaluasi pendidikan berstandar tunggal (nasional).
Bagi orang-orang yang masih percaya UN sebagai cara paling absah mengukur kecerdasan siswa, mereka telah ketinggalan zaman lebih dari 30 tahun. Terutama sejak ahli pendidikan Universitas Harvard, Howard Gardner pada 1983 membuktikan dalam teorinya kecerdasan majemuk (multiple intellegences) bahwa setiap siswa memiliki 8-9 jenis kecerdasan. Meliputi kecerdasan bahasa, logis matematis, gambar dan ruang, gerak, musik, interpersonal, intrapersonal dan naturalis. Sementara UN hanya dapat menguji satu atau dua jenis kecerdasan saja. Lalu bagaimana dengan jenis-jenis kecerdasan lainnya yang menonjol pada sebagian siswa, di mana kecerdasan-kecerdasan jenis itu tidak dapat dinilai dalam UN, apakah pemerintah dapat menyebut mereka anak-anak bodoh karena nilai UN-nya rendah?
Lebih dari itu, konsep carong (kecerdasan) telah terlalu lama direduksi ke dalam ranah intelek semata pada saat jiwa manusia memiliki fakultas-fakultas lain yang juga diasah oleh pendidikan, seperti spiritualitas dan emosi. Lebih sesat lagi, pemaknaan carong di sekolah-sekolah dan kampus-kampus kita disederhanakan pada penguasaan teks-teks sains, penguasaan sistem tanda yang rumit dalam simbol-simbol dan rumus-rumus ilmu pengetahuan tapi saat yang sama para siswa gagal memahami realitas nyata dari kehidupan keseharian mereka.
Kondisi ini mengharuskan gubernur meletakkan Aceh Carong dalam paradigma pendidikan termutakhir. Tidak melepaskannya secara liar dalam tafsir birokrasi dan dunia akademik kita yang stagnan. Di antara paradigma paling relevan ingin saya tawarkan di sini, apa yang biasa disebut poskolonialisme pendidikan. Ialah sebuah kesadaran baru dalam masyarakat bekas jajahan untuk menyadari kelemahan sistem pendidikan yang mereka wariskan dari penjajah, lalu mendesain sistem pendidikan baru yang sesuai dengan pertumbuhan kebudayaan emansipatoris dan kebutuhan hidup masyarakat lokal.
Problem akar
Poskolonialisme pendidikan dapat memberi petunjuk kepada gubernur dan Disdik kita bahwa problem pendidikan Aceh sesungguhnya bukan sekadar aspek manajerial, fasilitas, dan ketidakmerataan guru. Lebih fundamental dari itu, adanya tiga “problem akar” yang saya sebut dengan dualisme pendidikan, dehumanisasi pendidikan, dan diskoneksi pendidikan. Ketiga problem akar ini, awalnya kita wariskan dari tradisi kolonial, lalu diperparah dengan kegagalan kaum cendikiawan Aceh generasi pasca-kemerdekaan membangun konsep pendidikan progresif dalam tatanan poskolonialitas kita. Istilah “problem akar” saya gunakan untuk membedakannya dari “problem permukaan” yang biasa dibicarakan di Disdik kita.
Pertama, dualisme pendidikan. Konsep asli pendidikan Aceh tidak mengenal dualisme, antara pendidikan umum sekuler dan pendidikan agama religius. Florian Pohl (2009) mencatat sistem dualisme pendidikan ini awalnya diperkenalkan kolonial Belanda di abad 19, lalu dilanjutkan oleh kita hingga sekarang. Dualisme pendidikan ini melahirkan orang-orang dengan kecerdasan timpang. Antara kaum teknokrat-birokrat yang menguasai sektor publik tanpa kecerdasan spiritual dan ahli agama yang tidak menguasai kecerdasan intelektual pada isu-isu dan urusan-urusan publik.
Kedua, dehumanisasi pendidikan. Tidak memanusiakan (dehumanisasi) di sini dilacak dari beberapa ukuran. Di antaranya, lembaga-lembaga pendidikan kita membunuh bakat-bakat atau kecerdasan majemuk anak didik. Sekolah-sekolah hanya mengakomodir satu dua jenis kecerdasan dan mengabaikan enam sampai tujuh kecerdasan lainnya. Materi-materi dikembangkan tidak mengikuti azas psikologi perkembangan anak. Jumlah matapelajaran dan jam belajar yang terlalu banyak, diikuti ragam jenis kompetensi yang harus dikuasai terlalu membebani peserta didik. Dehumanisasi lainnya dapat dilihat dari budaya diskriminasi, kekerasan fisik dan tradisi bully di sekolah-sekolah. Ketiga, diskoneksi pendidikan. Ialah keterputusan hubungan antara pelajaran sekolah dengan realitas kehidupan peserta didik. Kepala para siswa dipenuhi dengan teks-teks yang disusun tidak berdasarkan pengalaman masyarakat lokal dan untuk membicarakan pengalaman masyarakat yang jauh dari mereka. Para siswa terperangkap dalam permainan teks tanpa realitas, hampir seperti membuat penuh kepala para murid dengan dongeng-dongeng sains yang tidak pernah ditemukan realitasnya di sekitar lingkungan para siswa tumbuh. Dalam ungkapan sastrawan Rendra, sekolah membawa kita terasing dari masyarakat dan tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri. Menjadi carong berarti lihai dalam permainan teks atau penguasaan game dari sistem tanda, bukan makna atau realitas yang direpresentasikan oleh teks-teks itu.
Tiga problem fundamental pendidikan Aceh ini tidak bisa ditangani dengan peningkatan infrastruktur sekolah, perbaikan manajemen, penambahan anggaran, distribusi pemerataan guru, atau program-program sejenisnya yang selalu tertuang dalam RPJM Aceh dan renstra Disdik dari satu dekade ke dekade berikutnya. Menurut saya, dualisme pendidikan harus diselesaikan dengan skema integrasi. Dehumanisasi pendidikan dapat dijawab dengan skema humanisasi. Selanjutnya diskoneksi pendidikan harus ditangani dengan skema koneksi.
Pertama, skema integrasi. Skema ini sudah diupayakan sejak 1970-an. Di tingkat antarbangsa ditandai dengan pergelaran beberapa konferensi berseri tentang pendidikan islami di Mekkah (1977), di Islamabad (1980), di Dakka (1981), dan di Jakarta (1982). Skema integrasi di sini dimaksudkan untuk mengakhiri dikotomi antara pelajaran umum sekuler dan pelajaran agama relijius. Pada pelajaran-pelajaran sains sosial dan ilmu alam pun dapat dibangun pandangan dunia ilahiah dan nilai-nilai Islam universal pada mental peserta didik. Skema integrasi selama ini tidak berjalan di Aceh, karena lemah dan kaburnya pedoman praktis yang disediakan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) untuk Disdik, sekolah, dan guru.
Kedua, skema humanisasi. Skema ini dimulai dengan mengurangi jumlah matapelajaran dan jumlah jam belajar. Terutama jumlah pelajaran agama perlu dikurangi mengingat semua pelajaran ilmu sosial dan ilmu alam telah mengalami integrasi dalam pembangunan kesadaran dan pandangan dunia ilahiah anak didik. Program diniah harus dihapus. Lalu dilanjutkan dengan pola pengelolaan sekolah dan kelas berbasis multiple intelligences. Disempurnakan dengan membangun budaya sekolah anti-diskrimansi, anti-kekerasan dan bully, dan lingkungan sekolah yang ramah anak (fisik dan non-fisik).
Ketiga, skema koneksi. Setiap guru harus di-upgrade kapasitasnya untuk memastikan pengajaran masing-masing mata pelajaran terkoneksi dengan realitas keseharian anak didik. Maka model pengajarannya harus bergerak dalam tiga langkah: pengajaran teks, kontekstualisasi ke luar kelas (mendekatkan murid pada realitas sekitar mereka), dan penanaman nilai-nilai. Teks sedapat mungkin yang berbicara tentang pengalaman dan realitas paling dekat dengan kehidupan peserta didik, bukan dunia yang asing.
Dengan tiga skema ini, program Aceh Carong di masa depan tidak dibicarakan sebagai dongeng politik tanpa kenyataan atau ditafsirkan secara kuno menggunakan paradigma pendidikan kadaluarsa. Nah!
* Affan Ramli, Tenaga Ahli Bupati Aceh Barat Daya bidang Pendidikan, Kebudayaan, dan Kepemudaan. Email: fan.syatariah@gmail.com