Perjuangan Dokter yang Bertahan di Tengah Pertempuran Kawasan Ghouta Timur, Suriah
Seluruh anggota keluarga Dokter Hamid kini tinggal di sebuah ruangan yang sesak dan temaram. Ruangan itu adalah garasi
Penanganan di rumah sakit diukur oleh dua kategori jelas, hidup atau mati.
Pekan ini, seorang bocah lima tahun tiba di rumah sakit dengan beragam luka serta patah di kaki dan lengannya. Dr Hamid menjahit luka-luka bocah itu, kemudian mengamputasi satu tangan dan satu kakinya di bagian paha atas.
"Ini masa depan dia," kata Dokter Hamid. Bocah itu hidup, dan itu adalah kesuksesan.
Pada hari yang sama, anak perempuan berusia 18 bulan tiba di rumah sakit dengan luka menganga di bagian paha sehingga pembuluh arterinya terpotong. Dengan susah payah Dokter Hamid mencoba menyambungkan pembuluh di kakinya dan memulihkan aliran darah, namun dia tidak mampu menjahit pembuluh tersebut dengan baik.
"Kita tidak tahu di masa depan apakah dia bisa berjalan atau kakinya hanya menjadi foto. Namun, dia hidup," ujarnya. Itu, lagi-lagi dianggap kesuksesan.
Kondisi tersebut tidak terjadi terus-menerus. Pekan itu, lima bocah yang ditangani Dokter Hamid semuanya meninggal dunia.
"Ketika kami menangani anak-anak, kami berharap Allah menjaga mereka," ucapnya disertai helaan napas yang panjang dan berat. "Maafkan saya, ini tidak bisa diungkapkan kata-kata."
Sekitar 50 pasien yang perlu penanganan medis darurat dievakuasi dari Ghouta Timur pekan ini. Sejumlah warga sipil di beberapa aerah juga mulai melarikan diri. Namun, PBB memperkirakan sedikitnya 390.000 orang masih terperangkap dan bersembunyi di tempat penampungan tidak resmi dengan makanan, air, sanitasi, dan perawatan medis yang terbatas.
Memperparah keadaan, serangan langsung ke fasilitas kesehatan telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir, khususnya di Ghouta Timur, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sepertiga dari rumah sakit Dr Hamid mengalami kerusakan. Adapun bagian yang masih berfungsi disesaki korban cedera sehingga sulit bergerak. Akibatnya, ketika pengeboman berlangsung intens, ada sejumlah jenazah di lantai yang tidak bisa dipindahkan. Pekan lalu, staf rumah sakit tidak bisa memindahkan jenazah selama 48 jam.
Di seluruh Ghouta Timur, staf medis lelah secara fisik dan emosional, kata Lorena Bilbao, koordinator organisasi Dokter Tanpa Perbatasan di Suriah.
Baca: Nelayan Ie Leubue Pidie Keluhkan Muara Dangkal, Boat Tunggu Air Pasang Untuk Masuk TPI
"Mereka sudah bekerja hampir tiada henti, hanya beberapa jam tidur tanpa makanan rutin, frustrasi terus-menerus, dan takut pengeboman," sebut Bilbao.
Menurut Atef, seorang ahli radiologi di rumah sakit bedah Ghouta Timur, peningkatan serangan dan senjata baru sejak Februari lalu menciptakan "kehororan jenis baru" berupa pasien-pasien dengan luka parah beragam.
"Kami tidak terbiasa dengan luka separah ini. Kami tidak bisa menolong mereka. Kalau Anda melihat di sekeliling kami, para staf mengalami keputusasaan," kata pria berusia 36 tahun itu.