Perjuangan Dokter yang Bertahan di Tengah Pertempuran Kawasan Ghouta Timur, Suriah

Seluruh anggota keluarga Dokter Hamid kini tinggal di sebuah ruangan yang sesak dan temaram. Ruangan itu adalah garasi

Editor: Fatimah
EPA
Eskalasi serangan dimulai pekan lalu sehingga menghancurkan kota-kota di Ghouta Timur. 

Seperti kebanyakan penduduk Ghouta Timur yang bersembunyi, Atef pun bermukim di ruang bawah tanah di sebuah bangunan umum bersama istri, anak, dan 100 orang lain.

Mohamed, mahasiswa kedokteran berusia 23 tahun yang terpaksa putus sekolah untuk menjadi paramedis, tinggal bersama keluarganya di ruang bawah tanah tetangganya. Di ruangan yang terbagi tiga itu, sebanyak 30 orang bersesakan tanpa listrik atau air.

Untuk melewatkan waktu, para anggota keluarga berbincang di tengah kegelapan.

Baca: Acong Terpilih Secara Aklamasi Jadi Ketua DPW Partai Aceh Kota Langsa

Lima sepupu Mohamed meninggal dunia bulan lalu. Begitu pula dengan pamannya, dua kakak iparnya, dan seluruh keluarga dari salah satu kakak ipar.

"Pasien-pasien ini adalah keluarga kami juga. Kami akan terus merawat mereka sampai semua obat habis. Sampai kita tidak punya apa-apa. Sampai menit terakhir."

Obat-obatan penting dan pasokannya cepat habis di Ghouta Timur. Sebuah iring-iringan Palang Merah yang diijinkan masuk ke lawasan itu pada Kamis (15/3) membawa paket-paket makanan tapi tidak membawa pasokan medis.

Menurut WHO, rezim Suriah menyita 70% pasokan medis dari iring-iringan sebelumnya, termasuk P3K, perlengkapan bedah, dan insulin.

Organisasi Dokter Tanpa Perbatasan mengatakan hanya ada satu dokter bedah pembuluh di Ghouta Timur dan tidak ada kemungkinan memindahkan pasien. Karena itu, dokter umum tidak punya pilihan selain mengamputasi organ tubuh untuk menyelamatkan pasien.

Baca: Hijaber Cantik Ini Istri Pembalap MotoGP, Kehadirannya di Sirkuit Losail Qatar Curi Perhatian

Dr Hamid memperkirakan rumah sakit hanya punya pasokan obat bius untuk beberapa pekan. Jika pasokan tidak kunjung datang, pasien terpaksa tidak mendapat anestesi guna meredakan sakit.

"Kami menggunakan benang jahit bekas, sarung tangan yang seharusnya sekali pakai tapi kami pakai lagi, alat pengering paru yang sudah pernah digunakan untuk pasien lain. Kebanyakan luka akan terinfeksi sehingga perlu perban, tapi kami memakai perban bekas."

Di rumah sakit tiada pula peralatan laboratorium untuk menguji keberadaan racun klorin, yang menurut paramedis dan aktivis oposisi digunakan sebagai senjata oleh pasukan pro-pemerintah.

Pemerintah Suriah membantah menggunakan senjata kimia, namun kesimpulan PBB menyebutkan pemrintah memakai klorin setidaknya tiga kali pada 2014 dan 2015. Investigasi PBB terkini melaporkan penggunaan klorin pada Januari lalu di Ghouta Timur.

Baca: Gajah Liar yang Rusak Kebun Warga Masih Bertahan di Mane Pidie, Petani Harus Jaga Malam

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved