Opini
Agama dan Hedonisme
BEBERAPA waktu lalu, Harian Serambi Indonesia terlihat cukup intens menyorot kasus prostitusi di Aceh
Oleh Johansyah
BEBERAPA waktu lalu, Harian Serambi Indonesia terlihat cukup intens menyorot kasus prostitusi di Aceh. Ada dua kasus besar yang ditelisik, yaitu kasus pasangan suami istri (pasutri) di Aceh Barat yang menjalankan bisnis haram dengan menjual anak gadis mereka pada hidung belang yang suka “jajan” sembarangan. Kasus kedua adalah prostitusi online di wilayah Aceh Besar. Terakhir rubrik editorial, Salam Serambi (Serambi, 26/3/2018) mengusung tema “Cukup Sudah Wanita Aceh Dibisniskan”.
Kasus-kasus tersebut memilukan, sekaligus memalukan Aceh sebagai daerah syariat. Negeri Serambi Mekkah ini sejatinya tidak ternoda dengan perilaku merusak moral ini. Apa yang terbayang dalam benak kita? Penyakit hedonisme sudah menjalar dalam masyarakat. Mereka ingin kaya dengan jalan pintas, mencari uang jalur cepat dan mudah tanpa harus mempertimbangkan benar-salah dan halal-haram. Cara mencari uang seperti ini adalah cara yang paling keji dan hina dalam pandangan Islam. Sepintas, kemapanan duniawi memang terwujud, tapi di saat yang sama harga diri pasti terenggut.
Menyisihkan agama
Hedonisme jelas menyisihkan agama. Agama bagi hedonis tidak lebih dari sekadar baju yang siap ditanggalkan dan ditinggalkan kapan saja, lalu dipakai kembali kapan mau. Pesan agama tidak lebih dari “iklan numpang lewat”, tidak ada keinginan untuk memahami, dan apalagi mengamalkannya. Hedonisme telah menyeret mereka pada mindset sesat, yaitu bagaimana agar mereka mampu mencapai kesenangan dan utilitas meski pun berseberangan dengan ajaran agama Islam. Spiritual mereka hampa karena menganggap ajaran agama menjadi palang penghalang pemenuhan kenikmatan duniawi.
Satu pemicu kuat mengganasnya hedonisme di zaman now adalah gaya hidup kekinian dengan pernak-pernik produk teknologi. Orang ingin memiliki barang seperti handphone canggih, malu kalau tidak dapat membeli mobil, minder dengan tetangga kalau tidak mempunyai televisi ukuran besar. Rasa malu para hedonis karena tidak dapat memenuhi apa yang mereka inginkan, bukan malu karena berperilaku menyimpang, terbalik.
Hedonisme juga terekam di dunia birokrasi. Mengapa kasus korupsi banyak terjadi, dan pelakunya pejabat negara yang sebenarnya secara ekonomi sangat mapan? Itu karena mereka tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki. Hal ini tidak aneh karena secara materi manusia tidak akan pernah mencapai puncak utilitas. Ketika dapat satu juta, lalu ingin dua juta. Dapat dua miliar, lalu ingin lima milyar. Begitu seterusnya.
Ada pandangan keliru yang berkembang dalam masyarakat kita, katanya “untuk memperoleh rezeki yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Dari itu banyak orang yang menempuh jalan pintas dan menyimpang dalam mencari rezeki. Sebenarnya Allah sudah menjamin rezeki bagi semua makhluk-Nya (lihat; QS. Hud: 6), tinggal bagaimana caranya mengambil rezeki tersebut.
Lagi pula ukuran kaya dalam Islam itu bukan materi, tetapi eloknya budi, sebagaimana sabda Nabi saw, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lantas mengapa kita ambisi mengejar kekayaan materi dengan cara yang menyimpang, bukankah kekayaan jiwa itu harta lebih bernilai?
Adalah hal yang lumrah kalau manusia mencintai dan menginginkan kesenangan dunia, karena manusia memiliki hawa nafsu. Islam memberi peluang kepada manusia untuk menata kehidupan dunia dengan kemapanan materi. Tapi ingat, dunia bukan tujuan akhir. Dunia adalah “ladang amal” untuk menentukan masa depan seseorang di akhirat kelak. Surga atau neraka adalah pilihan yang kita tentukan di dunia berdasarkan amal.
Dalam sebuah firman-Nya ditegaskan, “Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdaya kamu.” (QS. Luqman: 33). Allah Swt sudah tegaskan bahwa kehidupan dunia adalah senda gurau dan permainan. Oleh sebab itu manusia harus hati-hati dengan ornamen kehidupan dunia. Bagi orang yang bertaqwa kehidupan akhirat itu lebih baik (QS. al-An’am: 32).
Dunia tidak lebih dari tempat wisata. Keberadaan manusia di sana hanyalah sesaat. Manusia harus sadar diri bahwa suatu saat dia akan kembali kepada Allah dengan membawa satu-satunya bekal, yaitu amal yang harus dipertanggungjawabkan. Maka atas dasar apa manusia harus mencurahkan perhatian sepenuhnya bagi tempat wisata bernama dunia? Bukankah kesenangan yang diperoleh hanyalah kesenangan semu, dan haruskah mengorbankan kesenangan abadi yang sudah dipersiapkan oleh Allah di akhirat?
Tuntunan agama
Satu-satunya cara menghentikan hedonisme adalah kesediaan dan kerelaan diri untuk kembali pada arahan dan tuntunan agama. Jangan terbuai dan keliru memahami serta mengamalkan teori kebutuhan dasar Abraham Maslow (1908-1970) yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis (fisik) berupa materi.
Dalam Islam kebutuhan manusia yang paling dasar itu bukanlah kebutuhan fisiologis, tapi kebutuhan spiritual berupa iman sebagai landasan utama mengembangkan potensi kemanusiaan. Jangan katakan di usia anak-anak manusia tidak butuh agama. Justru Islam menganjurkan para orangtua untuk mendidik anaknya sejak berada di alam kandungan.
Lalu apa saja modal yang harus dimiliki manusia untuk menundukkan hedonisme? Ada beberapa sifat yang harus kuat dalam diri manusia: Pertama, agar terhindar dari hedonisme, orang harus banyak bersabar. Terkadang dalam kurun waktu yang relatif panjang, Allah Swt menguji hamba-Nya dengan kondisi ekonomi yang sulit, padahal sudah bekerja keras. Kedua, seseorang harus istiqamah mendirikan shalat sebagai sendi pokok ajaran Islam. Shalat adalah media komunikasi yang paling efektif untuk berkeluh kesah dan menyampaikan keinginan kita kepada Allah Swt.
Ketiga, agar tidak terjebak dalam hedonisme, seseorang harus memperbanyak syukur. Bersyukur kepada Allah berarti menyadari betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita. Walau pun dalam keterbatasan materi kita tetap harus bersyukur karena ada kenikmatan lain berupa non-materi yang begitu banyak dicurahkan Allah kepada kita hamba-Nya, terutama nikmat iman.