Pojok Humam Hamid

Dua “Lelah”, Satu Bencana: MoU Helsinki dan Damai, Menang?

GAM dan militer sama-sama kehilangan keluarga, sahabat, dan bahkan posisi strategis. Semua berubah dalam satu pagi.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

PERDAMAIAN jarang lahir dari hati yang tenang, apalagi melankolis. 

Ia biasanya muncul dari kelelahan, kadang juga dari keterpaksaan. 

Dalam kasus Aceh, kedua belah pihak--Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia--masuk ke meja perundingan bukan karena tiba-tiba saling mencintai, melainkan karena sama-sama sudah kehabisan napas. 

GAM telah bertahun-tahun bergerilya, mengandalkan logistik yang semakin menipis dan dukungan luar negeri yang perlahan surut. 

Pemerintah Indonesia, di sisi lain, telah menguras energi dan dana untuk operasi militer yang mahal dan tak kunjung menutup bab konflik. 

Dua kelelahan itu bertemu di ruang negosiasi. 

Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, hadir bukan sebagai penyihir yang mengubah hati, melainkan sebagai sutradara yang sudah hafal naskah.

Ia tidak meminta kedua aktor mengubah karakter, hanya mengajak mereka bermain sampai tirai turun dengan tenang.

Namun sejarah sering memerlukan katalis eksternal. 

Dalam konteks Aceh, katalis itu datang bukan dari meja perundingan, melainkan dari dasar laut. 

Pagi 26 Desember 2004, bumi berguncang 9,1 Skala Richter di lepas pantai barat Sumatra. 

Dalam hitungan menit, gelombang raksasa setinggi belasan meter menerjang pesisir Aceh. 

Lebih dari 170.000 nyawa melayang di provinsi Aceh saja. 

Tsunami ini bukan sekadar bencana alam. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved