KUPI BEUNGOH
Rakyat Minta Tertibkan PT ALIS, Bukan Rampas Lahan Masyarakat
Padahal, jika penegakan hukum dilakukan secara adil, jelas bahwa PT ALIS yang seharusnya menjadi prioritas penertiban.
Oleh: Fadhli Irman *)
GELOMBANG keresahan masyarakat Aceh Selatan kembali memuncak.
Penyebabnya, langkah penertiban lahan yang dilakukan aparat dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) di Keudee Trumon, Kecamatan Trumon, yang justru menyasar kebun-kebun masyarakat.
Sementara pelanggaran serius oleh PT Aceh Lestari Indosawita (PT ALIS) seperti dibiarkan begitu saja.
Padahal, jika penegakan hukum dilakukan secara adil, jelas bahwa PT ALIS yang seharusnya menjadi prioritas penertiban.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan serta Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Pasal 42 UU Perkebunan, kegiatan usaha budidaya tanaman perkebunan dan usaha pengolahan hasil perkebunan hanya dapat dilakukan apabila perusahaan perkebunan memiliki hak atas tanah dan izin usaha perkebunan (IUP dan HGU).
Faktanya, hingga kini PT ALIS menggarap lahan tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Artinya, aktivitas mereka jelas melanggar hukum dan semestinya dihentikan atau ditertibkan oleh aparat penegak hukum.
Belum lagi, temuan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) pada 2024 semakin memperkuat urgensi penertiban.
Sebanyak 72 hektare lahan di area PT ALIS mengalami kebakaran, bahkan titik api mengarah ke kawasan konservasi Suaka Margasatwa Rawa Singkil (SMRS).
Sesuai Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, pemegang HGU (apalagi yang tidak memiliki HGU) dilarang membuka atau mengolah lahan dengan cara membakar, merusak sumber daya alam, atau mengancam kelestarian lingkungan hidup.
Kebakaran di area PT ALIS bukan hanya dugaan pelanggaran administratif, tetapi berpotensi menjadi pelanggaran pidana lingkungan.
Baca juga: Menanti Pemerintahan Mirwan-Baital Mukadis Memperjuangkan Legalisasi Tambang Rakyat
Baca juga: Kisah Anak Buruh di Aceh Selatan Menggapai Kuliah di USK Lewat Beasiswa KIP
Di sisi lain, PT ALIS memang memegang Surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) Nomor: 21052410311101007 seluas 13.567.547 m⊃2; yang diterbitkan pada 2024. Namun, izin ini bukan bukti kepemilikan tanah.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 13 Tahun 2021, sebelum memanfaatkan tanah, pemegang PKKPR wajib membebaskan tanah dari hak atau kepentingan pihak lain melalui kesepakatan seperti jual beli, ganti rugi, konsolidasi tanah, atau cara lain sesuai aturan.
Sampai proses itu selesai, hak-hak pihak lain yang sah atas tanah tersebut tetap diakui, termasuk hak untuk memanfaatkan dan mengalihkannya.
Merampas Hak Rakyat
Fakta di lapangan membuktikan bahwa sejak 2022 banyak warga telah memegang sertifikat kepemilikan sah yang diterbitkan pemerintah.
Fadhli Irman
Opini Kupi Beungoh Fadhli Irman
PT Aceh Lestari Indosawita
Penertiban Lahan Masyarakat
Garap Lahan tanpa HGU
Persoalan Lahan di Aceh Selatan
Revisi UUPA, Pengkhianatan di Balik Meja Legislatif yang Menjajah Hak Rakyat Aceh |
![]() |
---|
Baitul Mal Aceh: Masihkah Menjadi Lentera Umat? |
![]() |
---|
September Pendidikan Aceh: Hardikda, Darussalam, dan Jejak Abadi Prof. Safwan Idris |
![]() |
---|
CSR Sektor Ekstraktif dan Imajinasi Kesejahteraan Aceh |
![]() |
---|
Prospek Legalisasi Ganja untuk Terapi Medis |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.