Cerpen
Separuh Hari
AKU berjalan mengiringi ayahku, menggenggam tangan kanannya, berlari mengikuti langkah-langkahnya yang lebar
Namun begitu jalan terbukakan untuk kami, kami tidak mendapati itu sepenuhnya manis dan jernih sebagaimana yang kami kira. Angin berdebu dan kejadian-kejadian yang tak disangka-sangka muncul tiba-tiba, sehingga kami harus berhati-hati, bersiaga, dan sangat sabar. Itu bukan lagi soal bermain dan bersenang-senang. Persaingan-persaingan dapat menimbulkan luka, dan kebencian, atau menimbulkan perkelahian. Dan sementara wanita itu mulai jarang tersenyum, dia sering marah dan mengata-ngatai. Bahkan ia menjadi sering terpaksa menghukum secara fisik.
Setelah itu, waktu mengubah pikiran orang selesai dan berlalu dan tidak ada lagi permintaan-
permintaan untuk pulang ke rumah yang terasa seperti surga. Tidak ada yang muncul dalam pikiran kami kecuali tekanan, perjuangan, dan ketekunan. Hanya mereka yang mampu mengambil baik-baik kesempatan untuk berhasil dapat tampil di tengah-tengah rasa khawatir.
Bel berbunyi menandakan berlalunya hari dan akhir dari tugas. Gerombolan anak-anak berbondong-bondong menuju gerbang yang telah dibukakan kembali. Aku mengucapkan selamat berpisah kepada teman-teman dan kekasih hati dan melewati pintu gerbang. Aku memandang ke sekitar tetapi tidak menemukan tanda-tanda ayahku yang telah berjanji ada di sana. Aku melangkah ke pinggir dan menunggu. Setelah menunggu cukup lama tanpa hasil, aku memutuskan pulangseorang diri. Setelah mengambil beberapa langkah, seorang lelaki paruh baya lewat, dan seketika aku menyadari bahwa aku mengenalnya. Ia mendekatiku, tersenyum, dan menjabat tanganku sambil berkata, “Sudah lama kita tidak bertemu—apa kabarmu?”
Dengan sekali anggukan kepala, aku setuju padanya dan balik bertanya, “dan kamu, bagaimana kabarmu?”
“Seperti yang kau lihat, tak sepenuhnya baik, Alhamdulillah” Ia menyalami tanganku dan pergi. Aku maju beberapa langkah, lalu berhenti terkejut. Oh Tuhan! Di mana jalan yang berderet dengan taman itu? Kemana ia menghilang? Sejak kapan kenderaan-kenderaan ini menyerbu? Dan sejak kapan gerombolan manusia ini muncul ke permukaan? Bagaimana bukit-bukit ini menolak menutupi sisi-sisinya? Dan di mana tanah-tanah lapang yang membatasinya? Gedung-gedung tinggi telah mengambil alih, jalanan dipenuhi anak-anak, dan kebisingan yang mengganggu menggoncang udara. Di berbagai titik berdiri tukang sulap menampilkan trik-trik mereka, dan membuat ular-ular muncul dari dalam keranjang. Lalu ada sebuah orkes mengumumkan pembukaan sebuah sirkus, dengan badut-badut dan binaraga berjalan di depannya. Sebaris truk yang mengangkut para tentara merangkak penuh wibawa. Bunyi sirene pemadam kebakaran melengking, dan tidak jelas bagaimana kendaraan itu akan mengambil jalan untuk meraih tempat amukan api. Sebuah pertengkaran terjadi antara seorang sopir taksi dan penumpangnya, sementara istri si penumpang itu berteriak meminta tolong dan tak ada yang menghiraunya. Oh Tuhan! Aku linglung. Kepalaku berputar-putar. Aku hampir pitam. Bagaimana ini semua dapat terjadi dalam separuh hari? Antara pagi hari dan tenggelamnya matahari? Aku akan mencari jawaban nanti di rumah sama ayah. Tapi di mana rumahku? Aku hanya bisa melihat gedung-gedung tinggi dan gerombolan manusia. Aku mempercepat langkah menuju persimpangan antara taman dan Abu Khoda. Aku harus menyeberangi Abu Khoda untuk tiba di rumahku, tetapi arus mobil tidak mereda. Sirene mobil pemadam kebakaran melengking tinggi ketika ia bergerak sedikit seperti siput, dan aku berkata pada diri sendiri, “Biarkan saja api bergembira dengan apa yang dilahapnya” Menjadi sangat marah, aku bertanya-tanya kapan aku bisa menyeberang. Aku berdiri di sana dalam waktu yang lama, sampai seorang anak muda yang diperkerjakan di toko penyeterikaan di tikungan itu menghampiriku. Ia mengulurkan lengannya dan berkata dengan gagah, “Kakek, biarkan aku membawamu menyeberang”. []
* Naguib Mahfouz lahir di Mesir pada 1911 dan dianugerahi Nobel Sastra pada 1988. Mahfouz adalah penulis Arab pertama yang memenangkan penghargaan bergengsi tersebut. Di Benua Afrika ia adalah pengarang kedua setelah Wole Soyinka yang juga meraih nobel yang sama dua tahun sebelumnya. Naguib Mahfouz menulis 34 novel, 350 cerita pendek, dan 5 naskah drama. Karya-karyanya banyak bertema sosial politik dan dampaknya terhadap kemanusiaan.
* Putra Hidayatullah lahir di Aceh pada 1988. Cerpen ini ia terjemahkan dari versi bahasa Inggris dengan judul Half A Day dari buku The Time and The Place and Other Stories (1995). Beberapa karya terjemahaannya yang lain dapat dibaca diwww.putrahidayatullah.wordpress.com