Opini
Israk Mikraj Bukti Kebesaran Allah
PERISTIWA Isra dan Mikraj merupakan peristiwa agung dan dahsyat, yang tidak mudah dijangkau dan dipahami
Oleh Abdul Gani Isa
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Isra‘: 1)
PERISTIWA Isra dan Mikraj merupakan peristiwa agung dan dahsyat, yang tidak mudah dijangkau dan dipahami oleh indra/pikiran manusia, sehingga Allah Swt mengawali kalam-Nya dengan kata subhana (Mahasuci Allah). Jarak tempuh dari Masjidil Haram (Mekkah) ke Masjidil Aqsha pada saat itu adalah satu bulan pergi satu bulan kembali, yang dalam ukuran kilometer diperkirakan mencapai 1.500 km. Israk artinya perjalanan malam hari, sedangkan Mikraj adalah berarti tangga atau naik ke tempat yang tinggi.
Berapa jarak tempuh dari bumi ke langit yang tujuh, hampir tidak ada teori atau pendapat yang pasti. Alquran menginformasikan kepada kita sejumlah ayat antara lain, Ta’rujul Malaikatu warruhu ilaihi fi yaumin kana miqdaruhu khamsina alfa sanatin (Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu) (QS. al-Ma’arij: 4). Maksud ayat ini, adalah malaikat dan Jibril, jika menghadap Allah Swt memakan waktu satu hari. Dan apabila dilakukan oleh manusia, memakan waktu 50.000 tahun.
Dari kajian ilmu pengetahuan disebutkan bahwa jarak Bumi dengan Matahari mencapai 149.600.000. Sedangkan jarak planet Pluto (yang terjauh) dengan Bumi adalah diperkirakan 5.910.000.000. Manusia bisa menempuh jarak dalam satu detik hanya 5 meter. Karenanya Rasulullah saw dengan bantuan Allah Swt dapat melakukan perjalanan tersebut lebih kurang selama 8-9 jam, dengan menggunakan transportasi “supercanggih” yang dinamakan Barq (kilat), yang menunjukkan bahwa kecepatannya secepat kilat.
Berangkat dari Masjidil Haram ba’da shalat Isya dan kembali qabla shalat Subuh, dan sebelum di-isra-mikraj-kan, beliau telah pula menjalani operasi bedah dada/hati, dibersihkan dengan air zamzam, lantas dimasukkan “hikmah dan iman” ke dalam dadanya. Subhanallah. Makanya menjadi kebiasaan umat Islam yang beriman, bila melihat sesuatu yang sangat luar biasa dan mengagumkan bagi dirinya senantiasa mengucapkan Subhanallah (Mahasuci Allah).
Pandangan menakjubkan
Bagaimana kedekatan Nabi saw dengan Allah Swt ketika bermikraj dan saat berdialog menerima perintah-Nya? Firman Allah Swt, “Sedang dia (Muhammad) berada di ufuq yang tinggi, kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekatnya lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad) sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi, lalu Dia (Allah) menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan, Maka sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain, yaitu di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad) melihat Jibril ketika di Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatan Muhammad tidak pernah berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampaui batas, sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhan-Nya yang paling besar.” (QS. al-Ma’arij: 8-18).
Sudah sering dikisahkan bahwa peristiwa Israk Mikraj terjadi pada tahun ke-12 dari kerasulan Muhammad saw atau bertepatan pada 622 M. Tahun itu dikenal pula dalam sejarah Islam dengan ‘amul huzni (tahun kesedihan). Karena pada tahun itu berpulangnya ke ramatullah secara berturut-turut isteri beliau yang sangat dicintai yaitu Khadijah al-Kubra, yang selama hayatnya telah memberikan segalanya termasuk harta benda demi tegaknya risalah Muhammad saw, bahkan jiwanya sekalipun siap diberikan untuk kepentingan dakwah dan tegaknya Islam.
Kemudian, pada tahun itu pula meninggalnya paman beliau yaitu Abu Talib, yang selama hidupnya menjadi sokoguru perjuangannya menebarkan agama Allah. Dua sebab ini pula menjadikan beliau diundang secara langsung oleh Allah, dan sekaligus menerima perintah shalat lima waktu.
Seperti sudah dijelaskan bahwa ketika Nabi berada di Sidratul Muntaha (tempat yang terakhir), lalu ia memberikan penghormatan/salam kepada Allah Swt: Attahiyyatul mubarakatus salawatut tayyibatu lillah. Lalu Allah menjawab salamnya dengan ucapan: Assalamu’alaika ayyuhannabiyu warahmatullahi wabarakatuh. Selanjutnya Muhammad menjawab: Assalamu ‘alaina wa’ala ‘ibadihillahis salihin. Lalu Malaikat mengucapkan syahadatain dan salawat atas Nabi: Asyhadualla ilahaillallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah, allahumma shalli ‘ala Muhammad. Lalu Nabi menyahutinya dengan ucapan: Wa’ala ali Muhammad.
Rasulullah saw menjelaskan, “Allah Swt mewajibkan kepada umatku pada malam Israk 50 waktu shalat, sebelum menerimanya saya bolak-balik meminta keringanan, sehingga menjadi lima waktu sehari-semalam. Bolak-baliknya Nabi memohon keringanan, dalam riwayat disebutkan atas saran Nabi Musa as. Umatmu kecil-kecil, mungkin tidak akan mampu melaksanakannya, sedangkan umatku yang besar tegap, merasa berat melakukannya, Musa AS menyarankan kepada Muhammad; irji’ ila rabbika fas alhu at-takhfif, fainna ummataka la tatbiq (kembalilah kepada Tuhan-Mu, mintalah keringanan, karena umatmu tidak akan mampu melaksanakannya). Rasulullah saw, bolak-balik meminta rukhsah (keringanan) dari Allah sampai sembilan kali, sehingga dari 50 waktu menjadi lima waktu. Namun umat Islam harus berbesar hati, bahwa lima waktu itu sama nilainya dengan 50 waktu.” (HR. Bukhari).
Shalat yang ikhsan
Shalat secara harfiyah bermakna doa, yaitu irtifa’ul aqla ilallah likay nasjudu lahu wa nasykuruhu wa natlubu ma’unatahu (mengangkat/meninggikan pikiran dalam rangka sujud, bersyukur dan memohon pertolongan-Nya). Secara istilah diartikan sebuah ibadah dimulai dengan takbiratul ihram, diikuti dengan beberapa perkataan, perbuatan dan diakhiri dengan salam. Takbiratul ihram (takbir haram), artinya ketika takbir itu dilakukan, haramlah melakukan hal/kegiatan di luar kaifiyat shalat. Bila itu dilakukan dengan sengaja tanpa ‘uzur syar’i, ibadahnya tertolak/batal atau paling kurang bisa makruh.
Begitu tingginya nilai shalat, sehingga Rasulullah saw mengatakan, as-shalatu mi’raju lil mu’minin (shalat itu merupakan mikraj-nya bagi setiap mukmin). Khusyu’ dalam shalat adalah satu faktor memperoleh “aflah (kemenangan) dari Allah Swt, seperti diisyaratkan Alquran, Qad aflahal mu’minun allazinahum fi shalatihim khasyi’un (QS. al-Mukminun: 1-2). Persoalan yang sering muncul adalah bagaimana menjadikan shalat itu khusyu’, yaitu menundukkan diri pada aturan dan kaifiyat shalat yang sedang dilakukan.
Sejak berdiri betul menghadapkan badan, wajah dan menghadirkan hati (hudlurul qalbi) dan pikiran kepada tempat sujud. Lakukanlah konsentrasi menghadap Allah, lepaskan diri dari dimensi duniawiyah, pusatkan perhatian dan masuk dalam dimensi ilahiyah, sebagai wujud dari makna mikraj. Kita berada di bumi, tetapi seolah-olah kita sudah berada di alam yang tinggi.
Di sinilah lahirnya jiwa ikhsan, sebagaimana diajar Rasulullah saw, anta’budallaha kaannaka tarahu (sembahlah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya). Tetapi bila kamu tidak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwa Alah melihat kamu (fainlam takun tarahu, fainnahu yaraka). Alangkah indahnya jika ruh ikhsan ini bisa dimanifestasikan dalam semua aspek kehidupan, baik secara individu, keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.
Bila semua umat Islam menempatkan diri dan memahami keberadaannya di dalam pengawasan Allah Swt, Insya Allah yang muncul ke permukaan ini adalah ma’rufat-ma’rufat (kebaikan-kebaikan). Ma’rufat-ma’rufat itu akan mampu menenggelamkan semua bentuk munkarat dan fahisyah, apakah itu mengonsumsi khamar, narkoba, perjudian, pencurian/korupsi, khalwat, prostitusi, perzinaan, pembunuhan dan lain-lain.
Dampak positif dari makna ruh shalat adalah seperti diisyaratkan Allah Swt dalam Alquran dengan firman-Nya, “Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Ankabut: 45). Wallahu a’lamu bish-shawab.
* Dr. H. Abdul Gani Isa, SH, M.Ag., staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, dan anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. E-mail: aganiisa@yahoo.co.id