Opini
Pembuktian Zina dalam Qanun Jinayat
BEBERAPA pekan terakhir ini, media massa dan sosial banyak yang menurunkan berita tentang adanya jaringan
Dalam keadaan ini pasangannya yang sama-sama dituntut karena melakukan khalwat atau ikhtilath, diberi kebebasan dan hak untuk mengaku telah berzina atau tidak. Kalau si pasangan tidak mau mengaku telah berzina (walaupun diyakini bahwa dia berdusta), maka dia tidak dapat dituntut telah melakukan kejahatan zina, karena bukti untuk itu, yaitu empat orang saksi tidak ada (tidak cukup). Dengan demikian orang yang mengaku telah berzina yang menyebut/ingin menyeret pasangannya akan dijatuhi hukuman zina dicambuk 100 kali dan hukuman atas kejahatan qadzaf (menuduh orang berzina tanpa bukti empat orang saksi) dicambuk 80 kali.
Dan, ketiga, pengakuan berzina yang diajukan oleh perempuan yang hamil karena perzinaan tersebut. Dalam keadan ini, si perempuan boleh menyebut nama orang yang menjadi pasangannya berzina, yang menyebabkan kehamilan tersebut. Untuk itu, DNA si anak dan si laki-laki akan diperiksa. Kalau hasil test menyatakan DNA anak sama dengan DNA si laki-laki, maka dia dinyatakan terbukti telah berzina dengan si ibu yang melahirkan bayi tersebut. Si ibu dijatuhi hukuman cambuk 100 kali karena pengakuannya, sedang si ayah akan diajtuhi hukuman yang sama berdasarkan bukti hasil test DNA tadi.
Pembuktian biasa
Inilah tiga cara pembuktian untuk perbuatan pidana perzinaan. Adapun pembuktian untuk kejahatan lain yang berhubungan dengan zina, yaitu menjadi mucikari, menjadi penyedia fasilitas atau mempromosikan zina, tidak dapat dibahas dalam ruang yang sempit ini. Untuk tiga kejahatan ini, berlaku pembuktian biasa, sama seperti pada perbuatan pidana lain, bukan pembuktian khusus.
Begitu juga perlu diperhatikan bahwa yang ditulis di atas adalah pembuktian untuk pelaku perzinaan, bukan pembuktian untuk orang yang melakukan pemerkosaan. Kejahatan zina berbeda dengan kejahatan pemerkosaan. Dalam zina tidak ada orang yang menjadi korban, karena perbuatan dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. Sedangkan pada pemerkosaan pelaku hanya satu orang, sedang pihak yang sebelah lagi dianggap sebagai korban, bukan sebagai pelaku. Orang yang menjadi korban musti dilindungi dan tidak boleh dihukum. Wallahu a‘lam bish-shawab.
* Al Yasa’ Abubakar, Profesor pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh. E-mail: yasa.abubakar@gmail.com