Sumur Minyak Meledak

Kenapa Warga Nekat Mengebor Minyak Secara Tradisional? Ini Penjelasan Anggota DPRA

Dengan adanya tambang rakyat ini mereka dapat bekerja di sana, dan mendapatkan rezeki untuk dibawa pulang ke rumah

Penulis: Mawaddatul Husna | Editor: Zaenal
IST
Air memancur dari lobang sumur minyak yang meledak dan terbakar di Dusun Bhakti, Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur. Foto direkam, Kamis (26/4/2018). 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Sumur minyak yang dibor secara tradisional oleh masyarakat Dusun Bhakti, Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, meledak dan terbakar, Rabu (25/4) dini hari.

Data dihimpun Serambinews.com, hingga tadi malam 19 orang dilaporkan meninggal dan 44 lainnya mengalami luka bakar dan kini dirawat di sejumlah rumah sakit di Langsa, Banda Aceh, dan Medan.

Pihak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh mengatakan, berdasarkan hasil observasi pihak Pertamina EP I Ranto, ada ratusan lobang sumur baru bekas pengeboran migas warga di kawasan dekat lokasi sumur migas yang terbakar dan meledak tersebut.

Jarak antara satu lobang dengan lobang lainnya, cukup dekat antara 30 - 50 meter.

Berdasarkan penjelasan warga, pengeboran minyak itu dilakukan secara tradisional dan menggunakan alat-alat manual.

Warga pun tidak dilengkapi dengan berbagai peralatan pengamanan, layaknya orang yang menekuni pekerjaan berbahaya.

Timbul pertanyaan, tidak tahukah warga akan bahaya pekerjaan yang mereka lakoni? Kalau tahu, kenapa mereka tetap nekat melakukan pengeboran secara tradisional?

Menanggapi ini, Anggota DPR Aceh, Iskandar Usman Al Farlaky yang berasal dari Ranto Peureulak, Aceh Timur mengatakan, masyarakat setempat memahami akan bahaya penambangan minyak tersebut, namun dikarenakan faktor ekonomi dan sosial sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas penambangan rakyat itu.

"Kebanyakan pemuda setempat, mantan kombatan yang tidak memiliki pekerjaan. Maka dengan adanya tambang rakyat ini mereka dapat bekerja di sana, dan mendapatkan rezeki untuk dibawa pulang ke rumah," kata Iskandar.

(Baca: Sumur Minyak Terbakar, 19 Tewas)

Penjelasan Iskandar itu disampaikan saat menjadi narasumber tamu by phone dalam talkshow Radio Serambi FM 90,2 Mhz, Kamis (26/4/2018), membahas Salam (Editorial) Harian Serambi Indonesia berjudul 'Perlu Keberanian Tertibkan Sumur Minyak Masyarakat'.

Hadir sebagai narasumber internal dalam talkshow bertajuk Cakrawala itu adalah Sekretaris Redaksi Harian Serambi Indonesia, Bukhari M Ali yang dipandu host, Dosi Elfian.

Iskandar menyebutkan, dalam sumur yang dibor tersebut mempekerjakan sebanyak 10 orang, dan pekerja yang bertugas menarik minyak dan memasukkannya ke dalam drum diberi upah Rp 100 ribu- Rp 200 ribu per drum.

"Bayangkan saja pemuda di sini yang pengangguran dan mereka mendapatkan pekerjaan, efeknya peningkatan perekonomian di Peureulak jauh lebih drastis dibanding periode-periode lainnya," tambahnya.

Apabila ada perbaikan-perbaikan di kemudian hari, diharapkan pemerintah harus sigap dan tanggap untuk campur tangan dan mengorganisir kelompok-kelompok petani tambang rakyat ini.

(Baca: VIDEO - Korban Meninggal Ledakan Sumur Minyak di Aceh Timur Capai 18 Jiwa)

Hal itu dilakukan agar tidak memunculkan efek seperti yang terjadi kemarin, Rabu (25/4/2018) di Kecamatan Ranto Peureulak yang hingga kini korban yang meninggal terus bertambah. Akibat sumur minyak yang selama ini dikuasai warga secara tradisional meledak yang kemudian menyemburkan minyak bersama api setinggi pohon kelapa.

"Masyarakat yang meninggal bukan saja dari Ranto Peureulak, tapi juga ada dari kecamatan lain. Artinya tidak hanya masyarakat Ranto Peureulak yang menggantungkan harapannya di sektor ekonomi riil pertambangan rakyat ini. Namun masyarakat dari kecamatan lain yang juga menggantungkan harapannya di sektor tersebut," demikian Iskandar Usman Al Farlaky.

Kedalaman 240 meter

Terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Akmal Husen yang didampingi staf geologi, Mukhlis mengatakan, lokasi kejadian ledakan sumur migas di Desa Pasir Putih itu merupakan wilayah kerja pengeboran migas PT Pertamina EP Aset I Field  Rantau.

Berdasarkan hasil peninjauan, observasi, dan wawancara dengan masyarakat sekitar lokasi kebakaran, jumlah pipa yang masuk ke dalam sumur gas yang menyemburkan api itu mencapai 40 batang pipa lebih, atau sekitar 240 meter kedalaman pengeborannya.

Lokasi sumur yang mengeluarkan api itu, menurut laporan masyarakat yang selamat dari ledakan sumur migas tersebut, adalah pengeboran yang paling dalam.

Sebelumnya, pada kedalaman pengeboran 80 meter sudah ke luar minyak mentah.

(Baca: Pengeboran tak Sesuai Kaidah)

(Baca: Tragedi Sumur Minyak Ranto Peureulak, ESDM Ingatkan Ancaman Gas Beracun Muncul Setelah Api Padam)

Menurut Akmal, pada pengeboran migas sedalam 200 meter akan menemukan cebakan gas atau tumpukan-tumpukan minyak mentah, berisi gas mudah terbakar, yang tidak ekonomis untuk dieksploitasi/produksi untuk sebuah bisnis migas skala menegah ke atas.

“Ini terbukti, masa semburan gas apinya, tidak lama. Belum sampai 48 jam, semburan api gasnya sudah padam, tanpa dilakukan pemadaman. Makanya Pertamina meninggalkan lokasi itu, untuk tidak dieksploitasi/produksi,” kata dia.

Akmal Husin mengatakan, pihaknya bersama perwakilan Pertamina EP I Ranto Peureulak, Pak Rizal, Pemkab Aceh Timur, Polres, Dandim, dan Tim Kementerian Menko Polhukam dari Jakarta, terus akan melakukan observasi kembali ke lapangan, sampai diketahui faktor penyebab ledakan dan semburan api dari sumur gas baru yang dibor warga Desa Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur.

Menurut hasil observasi lapangan pihak Pertamina EP I Ranto, ada ratusan lobang sumur baru bekas pengeboran migas warga di kawasan dekat lokasi sumur migas yang terbakar dan meledak tersebut.

Jarak antara satu lobang dengan lobang lainnya, cukup dekat antara 30 - 50 meter.

(Baca: Api di Sumur Minyak Ranto Peureulak Sudah Padam, Tapi Minyak Masih Menyembur Tinggi)

Bagi masyarakat pencari minyak mentah tradisional, kata Akmal, mereka tidak memikirkan akibat bahaya dari tindakannya.

Yang mereka pikirkan adalah bagaimana bisa dapat minyak mentah, kemudian dijual dengan harga Rp 600.000/drum (220 liter).

Menurut pengakuan angota masyarakat setempat, kepada Tim Geologi ESDM yang melakukan wawancara kepada keluarga korban yang selamat, satu lobang pengeboran minyak mentah dengan kedalaman 80 - 100 meter, bisa mendapat 10 - 20 drum minyak tanah.

Ini artinya mereka bisa mendapat uang Rp 6 - Rp 12 juta.

Minyak mentah itu dijual kepada pihak luar untuk diolah menjadi berbagai jenis bahan bakar. Antara lain, jadi minyak solar, minyak tanah dan bensin secara manual.

Mengenai semburan api dan gas dari lubang sumur gas, staf geologi Dinas ESDM Aceh, Mukhlis mengatakan, itu adalah trap gas, yaitu cebakan/cekungan gas yang dangkal yang potensi migasnya tidak ekonomis untuk diekploitasi.

Menurutnya, sistem pengeboran tidak dilakukan sesuai kaidah atau prosedur.

Misalnya, menutup sumur bor dengan rapi dan mengukur tekanan gas yang sewaktu-waktu bisa meledak.

“Dari fakta yang kita temukan dilapangan, hal itu tidak dilakukan, melainkan minyak mentah yang ke luar dari sumur baru migas yang di bor, dialirkan begitu saja di atas permukaan tanah,” kata dia.  

Untuk minyak mentah yang pertama ke luar, biasanya megeluarkan gas yang terbakarnya.

Akibatnya, terjadikan ledakan api dari dalam sumur,  hingga merengut 19 orang korban jiwa meninggal dunia, lima unit rumah terbakar dan melukai 41 orang, yang kini sedang dirawat di berbagai rumah sakit di Aceh Timur, Langsa, Banda Aceh, dan Medan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved