Opini

Perempuan dan Rokok

ISU “pengendalian rokok” masih kalah popular dibandingkan tiga isu kesehatan yang saat ini dianggap sebagai PR terbesar

Editor: bakri
US News
Ilustrasi merokok 

Oleh Rizanna Rosemary

ISU “pengendalian rokok” masih kalah popular dibandingkan tiga isu kesehatan yang saat ini dianggap sebagai PR terbesar Kementerian Kesehatan, yakni mencegah bertambahnya penyakit tuberculosis (TBC), menekan laju angka kasus stunting anak, dan meningkatkan sosialisasi pentingnya imunisasi untuk pencegahan penyakit. Sayangnya, yang luput dari perhatian para pengambil kebijakan kesehatan adalah faktor penyebab tiga masalah kesehatan tersebut. Satu faktor penyebab ketiga masalah tersebut adalah rokok.

Banyak studi belum terbantahkan yang menjelaskan korelasi perokok beresiko terkena penyakit TBC (Bates dkk, 2012). Atau hasil penelitian yang menunjukkan eratnya hubungan konsumsi rokok dengan risiko anak lahir stunting akibat kurang asupan gizi saat dalam kandungan ibu maupun saat dilahirkan (Kyu dkk, 2009). Khususnya ketika orang tua lebih memilih membeli rokok dari pada belanja makanan bergizi untuk keluarganya.

Bahkan, observasi singkat saja akan segera menunjukkan masih banyaknya orang tua yang enggan membawa anak-anaknya ke Puskesmas atau Rumah Sakit guna mendapatkan imunisasi secara rutin. Karena imunisasi belum dianggap sebagai hal penting dan mendesak dibandingkan kenikmatan menghabiskan waktu di warung kopi, mengopi, dan merokok.

Tidak pantas merokok
Selain hubungan kausalitas rokok langsung dan tidak langsung terhadap faktor sosial-ekonomi, politik, dan pendidikan seseorang, permasalahan menarik lainnya terkait rokok adalah siapa yang merokok? Merokok masih dipandang sebagai budayanya para kaum lelaki. Sebaliknya bagi kaum perempuan, merokok adalah perilaku tidak lazim dan bertentangan dengan kondratnya, budaya, bahkan agama.

Jumlah perokok perempuan yang relatif sangat kecil (6.7%) dibanding mayoritas perokok laki-laki (65%) dirasa belum menjadi ancaman bagi kesehatan nasional (Riskesdas, 2013). Sebagaimana halnya di Banda Aceh, perokok perempuannya hanya 0.18% dari 28% perokok laki-laki. Bila dikalikan dengan jumlah populasi perempuan Banda Aceh yang 122.128 jiwa (Data Kesra Provinsi Aceh, 2016), perokok perempuan terhitung masih sekitar 220 saja yang ada di Banda Aceh saat ini.

Namun data yang dianggap tidak signifikan tersebut adalah data yang terdokumentasi secara kuantitatif. Belum termasuk perempuan-perempuan lainnya yang tidak terjangkau dalam survei provinsional tersebut, seperti perokok perempuan di kalangan remaja. Penelitian yang ada mengindikasikan bahwa perempuan perokok adalah fenomena “ujung gunung es”. Studi mereka menyebutkan bahwa peningkatan jumlah perokok di beberapa negara berkembang (termsuk Indonesia), salah satunya disebabkan melemahnya stigma sosial terhadap perempuan perokok.

Saat ini sudah semakin banyak perempuan yang bekerja, punya penghasilan sendiri, dan membuat mereka semakin percaya diri untuk merokok. Kepercayaan diri ini diperkuat oleh gencarnya strategi pemasaran perusahan rokok menyasar perempuan dan anak-anak melalui iklan yang menawarkan rokok sebagai bentuk kebebasan dan kebahagiaan. Sebaliknya, pemerintah di negara-negara tersebut belum semua memberikan priotitas terhadap upaya mengendalikan produksi, distribusi, dan konsumsi rokok untuk melindungi kesehatan warganya (McKay dan Amos, 2003).

Menariknya, hasil riset dan observasi penulis menunjukkan hasil yang berbeda. Stigma terhadap perempuan perokok ternyata masih kental berlaku di Banda Aceh. Stigma sosial yang awalnya disinyalir menjadi salah faktor menekan laju jumlah perempuan perokok, menurut penulis, saat ini menjadi kaunter produktif. Tanpa disadari, menafikan keberadaan perokok perempuan dengan menyematkan label “tidak pantas”, “bukan perempuan baik-baik” tidak serta merta akan membantu mereka untuk berhenti merokok, bahkan sebaliknya mempersulit mereka untuk menghentikan kecanduan rokok karena dua alasan.

Pertama, bagi sebagian perempuan, merokok menjadi simbol identitas perlawanan atas pembatasan perilaku yang cenderung bias gender. Termasuk menentang anggapan merokok halal bagi laki-laki dan haram bagi perempuan. Dan, kedua, mengeneralisir perokok perempuan sebagai “perempuan tidak terhormat” secara tidak langsung mendiskreditkan perempuan lainnya yang jatuh dalam candu rokok karena berbagai sebab, seperti stress, pengaruh lingkungan, dan faktor lainnya.

Di saat perokok belum mampu berhenti merokok secara total karena absennya dukungan sekitar, hanya sedikit dari mereka yang secara berani dan terang-terangan merokok di ruang publik; sedangkan jumlah perempuan lainnya lebih banyak memilih merokok secara diam-diam baik sendiri maupun berkelompok demi menghindari stigma masyarakat.

Di sisi lain, perempuan atau seorang ibu (baik perokok dan bukan perokok) secara sosial dituntut untuk dapat mendidik dan menjadi panutan bagi anak-anaknya, agar kelak mereka dapat berperilaku “baik dan benar” dalam masyarakat. Sayangnya, tanggung jawab yang tidak ringan tersebut tidak disertai kondisi kondusif yang mendukung mereka untuk menjadi madrasah utama dan pertama bagi anak-anaknya.

Walaupun banyak ibu secara umum paham rokok berbahaya bagi kesehatan anggota keluarga, akan sulit bagi mereka untuk melarang anaknya mencoba merokok atau bahkan berhenti merokok. Khususnya bila sang suami atau si ayah tetap berat menghentikan kebiasaan merokok sehari-hari dalam keluarga. Sementara telah banyak studi yang menjelaskan penyebab inisiasi merokok di kalangan anak-anak antara lain secara langsung dan tidak langsung disebabkan pengaruh perilaku merokok orang tua dan teman sebaya (Semba dkk, 2007).

Selain itu, masih kurangnya pemahaman tentang bahaya rokok terhadap berbagai aspek kehidupan, dan bagaimana menanggulanginya juga menjadi tantangan bagi perempuan atau ibu dalam memberikan edukasi maksimal akan resiko rokok kepada buah hatinya.

Boleh berbangga
Kota Banda Aceh boleh berbangga karena sudah punya Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang melarang kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau memproduksikan produk tembakau (rokok) di 12 area publik, seperti fasilitas kesehatan, ibadah, dan pendidikan. Qanun KTR ini mendukung Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 18 tahun 2014 tentang Merokok Menurut Pandangan Islam yang menfatwakan rokok menjadi haram bagi mereka yang dilarang merokok secara medis dan bagi perokok yang tidak menghargai hak orang lain.

Walau kedua payung hukum tersebut dapat menjadi legitimasi bagi berbagai bentuk pelanggaran terkait rokok di kota ini, namun lemahnya penegakkan hukum untuk isu ini masih merupakan kendala. Hal ini bukan semata-mata karena rendahnya kinerja aparat penegakan hukum dalam memberlakukan sanksi administratif yang tersebut dalam pasal di kedua peraturan tersebut, namun juga karena sulitnya menerjemahkan kedua hukum positif tersebut, yang secara substantif masih sangat ambigu dan tidak mengakomodir hak dan peran perempuan. Seperti halnya Fatwa MPU yang mengharamkan rokok bila perilakunya menganggu orang lain. Tidak jelas disebutkan hak siapa yang dilanggar atau tidak dihargai. Padahal cukup jelas, para perokok (laki-laki khususnya) masih sangat terbiasa dan bebas hukum merokok di wilayah yang masuk kategori ruang umum. Ketika mereka merokok, masih sangat banyak hak-hak bukan perokok atau perokok pasif yang dilanggar. Yakni para perempuan dan anak-anak yang berhak penuh menghirup udara bebas asap rokok di ruang publik tersebut.

Demikian pula Qanun tentang KTR belum secara eksplisit mengakomodir hak-hak para perokok pasif di kota Banda Aceh ini. Di mana mereka tidak berani secara langsung melarang perokok karena tidak ada jaminan perlindungan hukum yang jelas atas dirinya.

Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) pada 31 Mei tahun ini mengambil tema Tobacco Breaks Hearts atau “Rokok Penghancur Jantung”. Tujuannya adalah mengingatkan pentingnya melindungi jantung kita dengan meninggalkan rokok. Jantung adalah simbol utama kehidupan seseorang. Berhentinya jantung seorang menandakan akhir hidupnya. Perempuan juga merupakan simbol kehidupan sebuah keluarga dan masyarakat. Ketidakberhasilan peran perempuan menjadi madrasah utama dan pertama bagi anak-anaknya dapat berakibat kepada kegagalan mencetak generasi berkualitas bagi masyarakatnya.

Perempuan itu adalah orang tua, ibu, kakak, teman, tetangga, saudara dan kerabat kita yang sebenar-benarnya “jantung hati” keluarga dan masyarakat. Merekalah yang seharusnya dimaksimalkan perannya dan dihargai hak-haknya sebagai perempuan dan manusia. Bukan dikerdilkan hanya karena mereka merokok, tapi harus dirangkul dan dibantu dalam proses mereka belajar untuk berhenti. Dan bukan juga dipaksa jadi pencetak generasi tidak merokok tanpa dibantu dalam proses mewujudkannya.

Selamat Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2018!

* Rizanna Rosemary, MHC., staf pengajar FISIP Unsyiah dan Peneliti di Center for Tobacco Control Studies (CTCS) Aceh. Email: rizanna.rosemary@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved