Teater NOL Unsyiah Lolos ke Taman Mini, versi Ken Zuraida tidak Ada Juara I
Lima juri yang dipilih adalah H Sjamsul Kahar, Ken Zurada (dari Teater Bengkel Jakarta), Budi Arianto, Kostamam, dan Fauzan Santa.
Penulis: Nani HS | Editor: Zaenal
Banda Aceh | Laporan Nani HS
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Menyisihkan sembilan teater lainnya dari seluruh Aceh, akhirnya Teater NOL Unsyiah lolos dari kegiatan Festival Seni Tradisi (Seleksi Teater Aceh) Menuju Parade Teater Daerah 2018, Rabu (27/6/2018).
Kemenangan ini akan membawa Teater NOL ke ajang Parade Teater Daerah yang berangsung pada 13-15 Juli mendatang, di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Teater NOL berkompetisi ketat dengan Teater Gemasastrin (Banda Aceh, juara II), dan Teater MAE Entertaintment (Banda Aceh, juara III).
Pada posisi IV dan V, masing-masing KTM Rongsokan UIN Ar-Raniry (Banda Aceh), dan Meusajan Art dari Kabupaten Bireuen.
Seperti dikutip laman ini sebelumnya, Kabid Bahasa dan Seni Disbudpar Aceh, D Kemalawati, mengatakan pihaknya berharap bahwa seleksi pemilihan grup teater ke tingkat nasional ini harus berdimensi kedaerahan dengan kemasan modern. Tapi tetap memiliki identitas keacehan yang diekspresikan melalui unsur inovasi dan kreativitas yang tinggi.
Lima juri yang dipilih adalah H Sjamsul Kahar, Ken Zurada (dari Teater Bengkel Jakarta), Budi Arianto, Kostamam, dan Fauzan Santa.
Tahun ini panitia penyelenggara memilih penetasan berjudul Pencuri Tujoh karya Azhadi Akbar, yang dipujikan juri nasional, Ken Zuraida, sebagai karya yang bagus.
Tidak Ada Juara I
Ikhwal seleksi teater yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, berikut ini tanggapan Ken Zuraida yang kami sajikan secara utuh:
Teater modern yang terlihat sepanjang parade yang saya saksikan, secara umum kurang menggembirakan.
Tawaran-tawaran yang disajikan tidak cukup kuat untuk mengestafet kekayaan produk budaya Aceh yang pernah dicapai 20an tahun yang lalu.
Pada catatan saya, yang terpilih hari ini tak ada juara I, II, dan III.
Adanya harapan I saja.
Namun begitu tokh festival/ parade hari ini dimaksud untuk menyeleksi yang akan mewakili Prov Aceh pada Parade Teater Nasional pada tahun ini juga.
Harapan I ini, terpilih mutlak aklamatif dari 5 orang juri.
Terlepas dari kekurangan yang elementer pada keaktoran, yang menonjol adalah ensemble yang baik.
Tangan sutradara sebagai pemimpin artistik keseluruhan terasa ada.
Mereka semua peserta perlu lebih sangat banyak exercise. Lebih banyak mencari.
Harus lebih banyak dengan rutin dan telaten berlatih teknis pemanggungan baik penyutradaraan maupun keaktoran dan pendukung pentas yang lain.
Mengundang tokoh tokoh senior yang masih ada untuk memberi review pada latihan yang sudah agak matang.
Selagi ada kritik (gratis lagi), tentu ada kemungkinan untuk memperbaiki kekurangan.
Ini yang saya maksud dengan exercise.
Secara umum kecenderungan untuk memakai yang folksy tak masalah.
Tetapi sekali lagi, harus diiringi dengan kemampuan penguasaan teknis elementer.
Sehingga bisa masuj dalam kategori standar yang baik.
Yang utama, harus punya dedikasi dan integritas tinggi untuk mencapai standar yang bener.
Tidak malas mencari. Tidak takut mengarungi kepahitan latihan. Tidak keder menghadapi kritik. Tidak mudah puas kerna dipuji.
Namun, harus jujur, rendah hati dan utuh.
Dengan penguasaan teknis yang baik, akan membuka cakrawala/orientasi jadi lebih lebar. Sehingga bisa menemukan atau mencapai style sendiri.
Semua tidak mudah. Pahit dan berdarah-darah.
Kepada 'pemenang', yang akan mewakili Aceh ke Parade Teater Daerah di Jakarta, harap terus latihan melakukan latihan dasar.
Cacat secara umum adalah para pemain jika mengucapkan dialog harus membungkukkan badan. Sangat mengherankan!
Secara umum juga terlihat, para pemain seperti sangat hafal urutan order sutradara sehingga banyak melakukan antisipasi. Duh! Lelah melihatnya.
Nah... Panjang ya...
Jika lisan pasti akan lebih panjaaaang dan lengkap. Tokh tugas saya diundang pemerintah setempat untuk cerewet dan menemukan kelebihan dan kekurangan para penyaji hari ini... Hahahah
Khas kepada sasterawan D Kemalawati, sebagai nyonya rumah, saya acungi jempol dua!
Mimpi dan harapan saya, akan lahir sanggar sanggar yang lebih sungguh-sungguh bekerja, dan bukan hanya muncul dari kampus-kampus, yang nota bene akan gonta-ganti sutradara dan pemain.
Tidak perlu minder.
Ayo kita bergerak ke depan bersama. Penulis sangat diperlukan, untuk memantulkan karya sehingga bisa tersosialisasikan dengan baik. Kritik yang akan membuat semua lebih baik.
Catatan lain, saya prihatin dengan kondisi Taman Budaya, yang tak terawat.
Tak punya auditorium ukuran kecil.
Stage ukuran yang ada tetapi auditoriumnya hanya 100-120 seats. Yang punya lampu-lampu standar dan sound system standar pula.Tak perlu mewah. Tapi harus punya.
Harus juga punya galeri, untuk bisa melakukan pameran senirupa.
Harus punya wisma seni sederhana tapi bisa mengakomodasi kebutuhan para pengisi acara. Jika tak ada acara tetap bisa disewakan dengan harga murah sebagaimana di Solo, misalnya.(*)
