Perempuan Penjual Jamblang di Pante Pirak
"Piyoh...piyoh..." suara seorang gadis kecil menyeruak di sela-sela deru kendaraan. Ia menyapa pengendara kendaraan sepeda motor dan mobil,
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Yusmadi
Mereka harus berhadapan dengan Polisi Pamong Praja yang bertugas menertibakan kota dari pedagang kaki lima berjualan sembarang tempat.
"Ya biasalah. Kami kan dikejar-lejar, kadang tertangkap," cerita Yuyun.
Mereka tahu, berjualan di jembatan, adalah sebuah kesalahan.
"Masalahnya kami jualan di tempat lain tak laku. Semetara kami harus menyambung hidup," kata Yuyun lagi.
Kegiatan berjualan jamblang mereka lakoni sejak 2007. Waktu itu, jamblang masih dianggap tanaman tidak komersial.
"Tapi kami kemudian mengolahnya, sebab kami butuh hidup," kisah Yuyun tentang awal mula berjualan jamblang. Musim jamblang, mereka dagang jamblang.
Musim rambutan jualan rambutan, begitu seterusnya. "Kami tidak ingin menjadi peminta-minta. Biarlah kami lakukan apa yang kami bisa, asal halal," tukasnya pula.
Peristiwa tsunami telah membuat mereka harus hidup di barak. Sampai sekarang rumah yang mereka tempati masih berstatus barak.
Padahal Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi atau BRR telah menyelesaikan pekerjaannya beberapa tahun silam.
"Silakan datang ke kompleks kami, lihat keadaannya," undang Yuyun menjenguk Perumnas Ujung Batee di Desa Neuhen tersebut.
Baca: Menikmati Gegap Gempita Kehidupan Penduduk di Pulau Balai
Hasil berjualan jamblang tidak seberapa. Sehari semalam memang bisa mengumpulkan 200 sampai 300 ribu rupiah.
Tapi mereka harus mengeluarkan ongkos transportasi, makan, dan modal membeli jamblang dari para pemasok jamblang.
"Alhamdulillah, walau sedikit, ada sedikit yang kita bawa pulang," timpal Mulia Syahputra.
Ia datang hanya menenami. Ia bertugas mengumpulkan buah jamblang di kampung.
Keluarga ini, seperti juga keluarga penjual jamblang lainnya langsung pulang ke Neuheun apabila telah tutup jualan.
Beberapa pembeli kembali singgah membeli jamblang. Kali ini keluarga yang mengendarai mobil sedan.
"Piyoh...piyoh..." terdengar sapaan perempuan-perempuan penjual jamblang di malam yang makin pekat.
Arloji hampir menunjukkan angka dini hari. (*)