Opini
Melemahnya Diskursus Perdamaian Aceh
TAHUN 2018 sepertinya menjadi titik awal melemahnya diskursus perdamaian Aceh. Asumsi ini dapat dibuktikan
Ketiga, kekerasan rutin. Di Indonesia dikenal dengan kekerasan rutin, di mana kekerasan rutin dapat digambarkan seperti kekerasan main hakim sendiri, kekerasan terkait dengan frustasi sosial, dan kekerasan disebabkan oleh penurunan sosial ekonomi dan tingkat yang lebih rendah dari pembangunan manusia.
Keempat, konflik Pilkada/Pilpres. Pilkada/Pilpres telah menjadi kekerasan model baru yang selalu dialami oleh para kontestan ataupun para tim pemenangannya. Konflik Pilkada/Pilpres di Aceh masih bisa dikendalikan. Karena ruang tarungnya masih berada di spot-spot keramaian.
Dan, kelima, konflik inter-agama. Indikasi konflik inter-agama (Islam) sudah mulai terjadi di Aceh, pusatnya muncul di kawasan pesisir Aceh. Berbarengan meningkatnya potensi konflik sesama penganut Islam, karena perbedaan amaliah mengarah kepada “meningkatnya” intoleransi di perbatasan Aceh-Sumatera Utara.
Jadi, persoalan perdamaian bukan saja mengakhiri konflik, tapi bagaimana perdamaian dapat membawa berkah dengan cara melibatkan diri dalam merawat dan membangun diskursus-diskursus baru untuk Aceh. Harus menjadi ingatan bahwa kemunculan konflik gaya baru di Aceh bukan tidak musykil. Satu strategi menghindarinya adalah dengan mengisi diskursus pembangunan ekonomi masyarakat Aceh.
Dalam kajian global, konflik etnis, kekerasan seperti terorisme, perang konvensional, epidemi, kecelakaan nuklir, senjata pemusnah massal dan kejahatan terorganisir, semuanya termasuk dalam daftar konflik yang berbahaya. Namun dari semua itu, situasi ekonomi dan pengangguran menjadi titik sentral terjadinya konflik yang menghambat kemakmuran manusia (Frances Stewart, 2004).
Konflik dan damai bagian dari kehidupan masyarakat Aceh. Konflik atau kekerasan di Aceh sudah berlangsung lama, malah sebelum era kolonialisme. Dalam sejarahnya, sebelum 1873 level konflik dan damai Aceh itu bercitarasa internasional seperti berkonflik dengan Portugis, Inggris, Prancis serta bersahabat dengan Turki. Secara terus-menerus masyarakat Aceh sangat bangga membangun diskursus literasinya bahwa Kesultanan Aceh tidak pernah dijajah Belanda sebelum abad XX.
Lalu kenapa sekarang tidak bangga membangun diskursus baru bahwa orang Aceh bisa berdamai setelah konflik sejak 1976-2005 dan bisa merawatnya. Atau kita hanya bisa berdamai dengan orang lain supaya diskursus damai Aceh terus melemah. Semuanya kembali kepada masyarakat Aceh, terutama elite-elite perdamaian yang masih hidup di Aceh, untuk menjadikan perdamaian MoU Helsinki sebagai inspirasi transgenerasi.
* Mukhlisuddin Ilyas, publisher di Pale Media Prima Yogyakarta dan Bandar Publishing Banda Aceh. Email: mukhlisuddin.ilyas@gmail.com