Surat Terbuka Untuk Gubernur Aceh Selaku Ketua Umum PKA-7

Pada malam penutupan juga diumumkan para pemenang dimana Aceh Selatan meraih juara umum sekaligus anjungan terbaik.

Penulis: Faisal Zamzami | Editor: Faisal Zamzami
SERAMBINEWS.COM/M ANSHAR
Menteri Pendidikan, Prof Muhadjir Effendy bersama Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud, dan Kepala Dinas Pariwisata Aceh, Amiruddin memukul beduk tanda dibukanya even empat tahunan Pekan Bebudayaan Aceh (PKA) Ke-7 di Stadion Harapan Bangsa, Lhoong Raya, Banda Aceh, Minggu (5/8/2018). 

SERAMBINEWS.COM - Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)-7 resmi ditutup pada Rabu (15/08/18) malam.

Menteri Agraria dan Tata Ruang RI yang juga Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil resmi menutup even Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke 7 di Taman Sulthanan Safiatuddin Rabu (15/08/2018) malam.

Pada malam penutupan juga diumumkan para pemenang dimana Aceh Selatan meraih juara umum sekaligus anjungan terbaik.

Ketua Dewan juri, Prof Dr H Nazaruddin Awe MA mengatakan juara II diraih Aceh Besar dan III Banda Aceh. Juara harapan I Bireun, Harapan II Aceh Tengah dan Harapan III Aceh Barat.

Ternyata perhelatan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)-7 yang cukup meriah dan megah ini masih menyimpan persoalan.

Hal itu diketahui dari surat terbuka yang disampaikan 64 orang volunteer PKA-7 untuk Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah.

Baca: VIRAL! Ikut Karyawisata Sekolah, Remaja Ini Tak Sengaja Bertemu Ayahnya di Penjara

Baca: Akibat Menguatnya Ekonomi Amerika Serikat, Indonesia Terparah Dampaknya di ASEAN

Berikut isi lengkap surat terbuka:

SURAT TERBUKA UNTUK GUBERNUR ACEH

Yth Bapak Plt Gubernur Aceh
Selaku Ketua Umum PKA-7
Di
BANDA ACEH

Salam ta’zim
Kami mohon maaf sebesar-besarnya, jika surat terbuka ini mengganggu ketenangan bapak. Tapi bagi kami memang tak ada pilihan lain, kecuali memohon budi baik Bapak untuk
memperhatikan persoalan kami.

Kami adalah 64 orang “relawan” dalam PKA-7, yang direkurt oleh Dinas Kebuyaan dan Pariwisata Propinsi Aceh. Kami masuk melalui testing, wawancara, dan macam-macam prosedur. Kepada kami telah diberikan detail kerja yang harus kami lakukan selama PKA. Intinya adalah “melayani” membantu bapak-bapak panitia atau EO yang telah menang tender.

Dan kami telah bekerja setulusnya, siang dan malam. Apalagi kami telah menyandang predikat “ relawan” dengan bahasa kerennya “volunteer”. Alhamdulillah, PKA-7 telah usai dengan sukses dan gemilang. Bapak Gubernur pun sudah mendapat banyak penghargaan dari berbagai pihak, dalam dan luar negeri.

Terus terang, pak. Sejak malam penutupan 15 Agustus 2018, sampai 5 September kemarin, kami para relawan yang telah bekerja 10 hari penuh, menanti dengan harap cemas, adakah sekadar jerih payah pengganti keringat yang tumpah, pengganti biaya rias, atau pencuci baju untuk kami ?

Hari-hari telah berlalu. Banyak cerita dan tumpah harapan. Bagi kami, terutama yang berstatus mahasiswa ini, terus bertanya-tanya. Berbagai macam yang kami dengar, bahwa dana PKA ini mencapai Rp 72 Milyar. Lalu para EO ada yang menang tender sampai Rp 23 Milyar, Rp 12 M, Rp 4 M, dsb. Semuanya cukup mengiris hati, apalagi ketika ada teman bertanya ke Disbudpar, bahwa PKA kekurangan dana. “ Untuk kalian memang tidak ada dana, kalian kan volunteer?

Sungguh, sangat pedih rasanya, pak. Setelah PKA usai, kami hanya dilirik dengan ekor mata.

Predikat volunteer menjadi senjata pamungkas untuk “mengusir” kami dari pentas-pentas PKA yang tadinya harus kami jaga, harus kami sapu, dll. Predikat volunteer, tak ubahnya ibarat sapi sembelihan. Darah kami seakan-akan telah direguk semaunya, dan kami tak bisa berkutik. Para “punggawa” itu cukuplah berpuas hati dengan “hasil” kerelawanan kami. Apalagi sejak awal kerja kepada kami telah dibisik-bisikkan, bahwa upah jerih untuk kami “sedang diperjuangkan” serkitar Rp 2 Juta serorang, untuk sepuluh hari.

Terus terang, kami sangat berharap pak Gubernur, kami sangat menantikannya.
Tak disangka, tanggal 4 September kemarin, kami dengar upah kami telah berhasil “diperjuangkan” yaitu Rp 495.000/ orang. Artinya sama dengan Rp 495/ hari. Jumlah ini agaknya sama dengan gaji pengumpul sampah/hari.

Kami sudah coba mempertanyakan ke orang-orang Disbudpar, tapi katanya “ Bersyukurlah, itu pun sudah ada. Kalau tidak, mau apa ?”

Tersenggak rasanya pak Gubrnur. Itulah jawaban dari dinas yang mengurus “peradaban” yang notabene adalah bawahan Bapak.

Bagaimanapun kami tetap curiga dengan pembayaran ini. Kepada kami hanya disodor sebuah kwitansi untuk diteken, uang sejumlah itu diberikan. Kisah “angin surga” Rp 2 Juta/orang telah lenyap. Kami teringat, Rp495 jika itu adalah upah jerih resmi, kenapa tak disodorkan Faktur pajaknya ? Sampai kemarin, kami semua masih terus bertanya-tanya, ada apa dengan dana PKA ini ?. Agaknya aparat hukum, Inspektorat Daerah, dan Instansi Pajak sebaiknya turun tangan. Tentu saja perhatian Bapak Gubernur untuk mentuntaskan soal ini, menjadi sangat penting, dan sangat kami harapkan.

Surat ini memang atas nama kami semua,64 orang volunteer. Nama kami terdaftar di Disbudpar Aceh,
Salam hormat.
Volunteer PKA-7

Baca: Terungkap Cara Agen Rusia Meracuni Mantan Agennya Sendiri dengan Racun Saraf Novichok

Baca: Sering Mendapatkan Caci Maki, Rocky Gerung: Mulai Hari Ini Saya Bergabung dengan 2019TetapJokowi

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved