Opini
Perempuan Aceh dalam Adat dan Syariat
ADA satu kekosongan logika dalam pemerintahan syar’i di Aceh. Kekosongan itu adalah alpanya kesetaraan nilai penegakan
Aplikasi ajaran Islam
Berbagai kajian seputar aplikasi ajaran-ajaran Islam telah dilakukan di berbagai negara Muslim. Tidak sedikit ahli-ahli hukum dan agama menyutujui bahwa ketentuan interpretasi dan penegakan ajaran Islam berjalan lebih baik ketika mengayomi atau berjalan beriringan secara sejajar dengan norma-norma, budaya, dan struktur sosial masyarakat setempat. Oleh karena alasan inilah, kita dapat melihat perbedaan aplikasi hukum Islam antara satu negara berbeda dengan negara lainnya.
Shah Waliullah, seorang ulama reformis paling produktif dari India, pada abad ke-18 menegaskan pentingnya karya-karya keagamaan dan penerapan hukum Islam yang sesuai dengan norma, budaya dan watak masyarakat di kawasan ini. Sebagaimana diketahui sejak berabad-abad India menaungi komunitas masyarakat paling kompleks di dunia. Tidak hanya dikarenakan letak geografi dan iklimnya yang beragam, tapi juga soal realita ratusan suku-suku berlainan secara kontras dan puluhan agama yang dianut.
Kesultanan Muslim yang memerintah saat itu telah kewalahan menghadapi berbagai peperangan sipil yang diiringi dengan tidak bergeraknya perekonomian dan kesejahteraan rakyat, berbanding terbalik dengan kekayaan kesultanan yang melimpah-ruah. Shah Waliullah menganggap pengabaian pada nilai-nilai lokal inilah yang menyebabkan Islam tidak berhasil memberikan solusi terhadap perkara-perkara kemanusiaan yang kompleks, yang terus menggerogti masyarakat Utara dan Barat India ini.
Untuk menanggapi persoalan tersebut, ia telah menuliskan beragam karya dengan tujuan satu, Islam sebagai jembatan bagi perbedaan. Di antara karya-karyanya yang monumental selain tafsir dan terjemahan Alquran dari bahasa Arab ke bahasa Persia adalah Hujjatul Baligha, yang menjadi karya ikonik bagi menjembatani keberagaman.
Jika contoh di atas agak sulit dipahami, barangkali contoh berkenaan yang paling familiar adalah anutan ke-4 mazhab dalam dunia muslim. Ketika masyarakat Muslim di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan beberapa kawasan di India bagian Barat menganut mazhab Syafi’i, masyarakat di Turki menganut mazhab Hanafi, dan masyarakat di Pakistan dan Afrika menganut mazhab Maliki dan Hanbali.
Jika Islam adalah agama monoton, umatnya yang berjumlah 1,8 miliar jiwa di dunia ini hanya akan memiliki satu tipe warna aturan-aturan hukum Islam di-hujjah dari satu orang. Tapi kenyataannya adalah tidak. Dan ini tidak jauh dari sebab faktor natural yang Allah ciptakan dalam tempat-tempat berbeda, seperti faktor iklim, geografi, dan watak manusia yang mendiami tempat tersebut. Ajaran Islam yang semata-mata hanya mencontek dari pelaksanaan ajaran Islam kawasan lain, tanpa memertimbangkan kajian-kajian terkait masyarakat lokal di tempat sendiri akan mengakibatkan impotennya hukum-hukum Islam tersebut.
Dalam realita lebih jauh, pelaksanaan syariat seperti ini dapat dipastikan tidak hanya bergesekan dengan nilai-nilai dan budaya lokal, tetapi juga cenderung menimbulkan jurang lebih besar bagi prospek ketidakadilan yang akan dihadapi rakyat. Ketika saat-saat seperti ini muncul, olok-olok dari golongan yang tidak mengerti Islam secara natural tidak bisa dihindari. Meskipun dalam Alquran, Allah telah menegaskan azab yang pedih bagi pengolok-olok hukum-Nya, adalah kewajiban kita untuk menjalankan ajaran-Nya tanpa meninggalkan ketentuan-ketentuan umum, hak-hak dan kewajiban pada nilai kemanusiaan, termasuk pada perempuan.
* Nia Deliana, mahasiswi Program Doktoral bidang Sejarah dan Peradaban di Universitas Islam Antarbangsa Malaysia, peduli pelestarian adat lokal benda dan tak benda. Email: delianania@gmail.com