Kupi Beungoh
Empat Mesin Produktivitas Aceh: Lahan, Tenaga Kerja, Modal, hingga Jiwa Wirausaha
Di tengah upaya Aceh menata arah pembangunan menuju 2045, keempat faktor ini seolah menjadi cermin.
Oleh: Safuadi, ST., M.Sc., Ph.D.
Di setiap masa sejarahnya, kemajuan suatu daerah selalu ditentukan oleh seberapa produktif ia mengelola empat sumber daya dasarnya: lahan, tenaga kerja, modal, dan kewirausahaan.
Ekonom klasik Adam Smith dan Joseph Schumpeter sepakat bahwa kemakmuran bukan semata hasil dari banyaknya uang, melainkan dari cara keempat faktor itu berinteraksi dan melahirkan nilai tambah.
Di tengah upaya Aceh menata arah pembangunan menuju 2045, keempat faktor ini seolah menjadi cermin.
Bagaimana tanah Aceh dimanfaatkan? Seberapa berkualitas tenaga kerja kita?
Seberapa hidup perputaran modal di pasar daerah? Dan yang paling penting adakah cukup banyak “jiwa wirausaha” yang berani mengubah peluang menjadi kemakmuran bersama?
Baca juga: Gus Elham Cium Anak Perempuan saat Pengajian, Eks Menteri Susi Pudjiastuti: Tangkap Pak Kapolri
1. Tanah: Lahan yang Menunggu Tangan Produktif
Tanah Aceh bukan sekadar hamparan sawah dan pegunungan. Ia adalah sumber daya strategis yang menyimpan energi masa depan dari tambang biji besi di Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan hingga potensi perikanan di Simeulue, dari kebun kopi di Gayo, coklat di Aceh Utara, Pidie jaya, Gayo Luwes dan Aceh Tenggara hingga emas di Nagan Raya.
Tapi potensi tidak otomatis menjadi kemakmuran tanpa faktor produktifitas yang mengolahnya.
Dalam teori ekonomi, tanah termasuk seluruh sumber daya alam yang memberi bahan mentah bagi produksi. Namun di Aceh, tanah kerap terjebak dalam dua ekstrem: yang satu tidak dimanfaatkan sama sekali, yang lain justru dieksploitasi tanpa nilai tambah lokal.
Maka tantangan Aceh hari ini adalah membangun sistem pengelolaan lahan berbasis produktivitas berkelanjutan di mana setiap hektar tanah bukan sekadar objek, melainkan mesin pencipta nilai.
Bayangkan bila tanah di Gayo Luwes, Aceh Tengah dan Bener Meriah tidak hanya menghasilkan kopi mentah, tetapi juga industri roastery dan coffee experience center yang membuka lapangan kerja baru.
Atau bila irigasi dan infrastruktur pertanian modern menjadikan sawah Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya hingga Aceh Barat Daya lebih menggeliat, dan menjadi lumbung padi nasional.
Baca juga: Bukan Sekadar Simbol Cinta Valentine, dr Boyke Ungkap 5 Manfaat Cokelat, Bikin Pasangan Makin Dekat
2. Tenaga Kerja: Dari Kuantitas ke Kualitas
Faktor kedua adalah tenaga kerja atau lebih tepatnya, kualitas kerja manusia. Di era otomasi dan kecerdasan buatan, tenaga kerja yang produktif bukan lagi yang paling kuat fisiknya, tetapi yang paling cepat belajar dan beradaptasi.
Maka, learning agility kini menjadi aset ekonomi yang lebih berharga dari sekadar ijazah, sebab hingga hari ini di seluruh Aceh terdapat 154 ribu tenaga kerja berpendidikan yang belum mendapat kesempatan kerja yang layak sesuai dengan level ijazahnya.
Aceh masih menghadapi kesenjangan besar antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri. Banyak lulusan menganggur bukan karena kurang pintar, melainkan karena sistem pelatihan tidak link and match dengan kebutuhan riil pasar.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Safuadi-ST-MSc-PhD-Kakanwil-Dirjen-Perbendaharaan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.