Opini
Riba Digital Mengintai Aceh: Stop Pinjol, Bek Meupunjot
Hingga September 2025, OJK mencatat 13.999 pengaduan pinjol ilegal, menutup 1.556 entitas, dan memblokir 2.422 nomor penagih utang.
M Shabri Abd Majid, Profesor di bidang Ekonomi Islam dan Koordinator Prodi S3 Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK
GELOMBANG pinjaman online (pinjol) kini menjadi ancaman serius bagi stabilitas sosial-ekonomi Indonesia, dan Aceh tidak lagi berada di zona aman. Hingga September 2025, OJK mencatat 13.999 pengaduan pinjol ilegal, menutup 1.556 entitas, dan memblokir 2.422 nomor penagih utang. Namun, riba digital terus menyebar cepat melalui ruang siber yang sulit diawasi. Di Aceh, nilai transaksi pinjol telah mencapai Rp158 miliar (Maret 2025), sinyal bahwa riba digital mulai menembus ekonomi rumah tangga.
Korbannya mayoritas kelompok rentan: guru honorer, korban PHK, ibu rumah tangga, pedagang kecil, dan generasi muda yang tergoda rayuan “cair 5 menit” di TikTok dan WhatsApp.Dampak pinjol tak lagi sebatas beban finansial, tetapi telah menjelma krisis sosial dan moral. Korbannya kian banyak: seorang ibu di Abdya dipermalukan karena datanya disebar, pemuda di Aceh Timur bunuh diri akibat tekanan utang, bahkan ada yang murtad karena putus asa dari jeratan riba digital.
Pinjol telah berubah dari layanan kredit menjadi alat eksploitasi dan kekerasan finansial. Ancaman terbesarnya datang dari pinjol ilegal yang menebar intimidasi, pemerasan, dan teror digital--kolonialisme finansial gaya baru yang menguras kesejahteraan rakyat. Jika tak segera diatasi, krisis pinjol akan meledak dan menyeret Aceh terjebak ”meupunjot ” ke lingkaran riba digital yang kian mencekik.
Ancaman nyata
Narasi “Aceh darurat pinjol” menyesatkan. Data OJK 2021–2025 justru menempatkan Aceh di lima provinsi dengan rasio pinjol terendah secara nasional dan paling rendah di Sumatera--bukan episentrum pinjol seperti sering digambarkan. Yang lebih penting adalah Tingkat Wanprestasi 90 Hari (TWP90)--rasio gagal bayar lebih dari tiga bulan. Di sini, Aceh membuktikan ketahanan moral ekonominya. TWP90 turun dari 3,16 persen (2021) menjadi hanya 0,82 persen pada 2024, terendah di Sumatera dan termasuk terbaik di Indonesia. Sebagai perbandingan, Jawa Barat (3,41 persen ), DKI Jakarta (3,56 persen ), dan Jawa Timur (3,29 persen ) justru mencatat lonjakan gagal bayar. Fakta ini membantah stigma: masyarakat Aceh berutang dengan etika dan tanggung jawab.
Namun, kondisi ini bukan alasan untuk lengah. Pinjol ilegal terus menyusup lewat WhatsApp, TikTok, dan Telegram, menjangkiti rumah tangga tanpa tercatat dalam data OJK. Karena itu, kecilnya angka pinjol bukan prestasi, melainkan peringatan dini. Aceh sedang diuji melawan riba atau membiarkannya merusak generasi. Dalam syariat, tidak ada “riba kecil”; semuanya haram, dan memeranginya adalah kewajiban.
Selama ini korban pinjol kerap disalahkan--dicap kurang iman, boros, atau gagal mengelola uang. Padahal, di Aceh mayoritas mereka adalah pejuang hidup: guru honorer, ibu rumah tangga, pedagang kecil, dan buruh harian yang terdesak kebutuhan. Mereka bukan pencari kemewahan, melainkan korban sistem yang menutup akses pembiayaan halal hingga terpaksa berutang pada rentenir digital. Pinjol bukan pilihan, melainkan pelarian. Dalam kondisi darurat, upaya menyelamatkan nyawa, akal, dan keluarga bukanlah kesalahan yang salah adalah membiarkan rakyat terus terjebak dalam jeratan pinjol.
Jeratan pinjol terjadi karena banyak hal. Pertama, keuangan syariah datang terlambat, saat rakyat butuh hari ini, bank syariah baru hadir minggu depan. Pinjol menang bukan karena lebih baik, tapi karena lebih cepat. Kedua, birokrasi pembiayaan kaku dan tak berpihak pada kebutuhan darurat rakyat. Ketiga, ekonomi keluarga rapuh: pendapatan kecil, harga naik, dan tanpa tabungan darurat. Keempat, literasi keuangan syariah rendah, sehingga banyak yang tak sadar bunga pinjol tetap riba, meski disamarkan sebagai “biaya layanan” atau “denda admin.” Terakhir, negara lalai melindungi rakyat--pinjol ilegal bebas beraksi di media sosial, sementara laporan korban kerap diabaikan. Intinya, rakyat tidak memilih riba. Mereka dipaksa keadaan. Krisis pinjol bukan sekadar masalah ekonomi, tapi gejala kegagalan sistemik yang merusak keadilan sosial, moral, dan keimanan umat.
Rakyat kecil mangsa
Dalam hukum Islam, riba bukan sekadar pelanggaran ekonomi, melainkan dosa besar dan kejahatan moral yang mengundang perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang namanya riba kecil atau riba darurat. Semuanya dilarang tanpa terkecuali. Al-Qur'an memperingatkan, "Tinggalkanlah riba; jika tidak, Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu" (QS. Al-Baqarah: 278-279), dan "Barangsiapa yang terus-menerus mengambil riba setelah diharamkan, maka tempatnya adalah neraka, tempat tinggalnya." (QS. Al-Baqarah: 275). Rasulullah (saw) juga bersabda, "Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang diharamkan, maka neraka lebih pantas untuknya." (Tirmidzi).
Karena itu, Aceh sebagai Bumi Syariat tak boleh memberi celah sekecil apa pun bagi praktik riba, termasuk wujud barunya hari ini berupa pinjaman online (pinjol). Meski data OJK menempatkan Aceh sebagai provinsi dengan rasio pinjol terendah di Sumatera, ancaman riba digital tak diukur dari angka, melainkan daya rusaknya. Pinjol bukan solusi, melainkan racun ekonomi yang menggerogoti akidah, kehormatan keluarga, dan kemandirian umat. Ia menyusup lewat gawai dengan janji “cair lima menit,” namun menjerat dengan bunga harian, denda berlapis, dan teror digital yang mempermalukan. Ini bukan kemajuan finansial. Ini kolonialisme ekonomi gaya baru yang menjadikan rakyat kecil sebagai mangsa.
Penyelamatan harus dimulai dari individu. Hijrah finansial, memahami perbedaan antara utang halal dan riba, akad dan tipu bunga, kebutuhan dan gaya hidup. Karena itu, "Gerakan Literasi Anti Pinjol” wajib hadir di meunasah, dayah, sekolah, kampus, tempat kerja, hingga ruang digital. Di keluarga, rumah tangga harus menjadi benteng antiriba. Utang maksimal 30?ri pendapatan, hanya untuk kebutuhan produktif, tanpa utang konsumtif, dan wajib punya dana darurat. Keterbukaan suami istri penting untuk mencegah “utang gelap” yang berujung konflik, kekerasan, atau perceraian akibat tekanan pinjol.
Di gampong, solusi harus tumbuh dari akar. Gerakkan ”Gampong Bebas Riba” lewat Koperasi Merah Putih Syariah sebagai ambulans keuangan umat yang menyediakan dana darurat tanpa riba, didukung dana gampong, zakat produktif, infak, wakaf tunai, dan CSR syariah. Bentuk “Satgas Anti Pinjol” di setiap gampong untuk menutup ruang bagi rentenir digital.
Di pemerintah, perang melawan riba digital harus total. Bentuk “Satgas Aceh Anti Pinjol Ribawi” bersama OJK, MPU, Dinas Syariat Islam, Kominfo, LKS, dan Baitul Mal. Terapkan “geoblocking” pinjol ilegal, hadirkan pembiayaan antipinjol 1×24 Jam, dan aktifkan dana Qardhul Hasan Darurat bagi rakyat yang terdesak kebutuhan hidup.
Gerakan ini hanya berhasil bila dijalankan berjamaah. Ulama menyadarkan, umara menegakkan, lembaga keuangan membuka akses halal, Baitul Mal menolong yang lemah, dan rakyat melindungi diri. Diam berarti berkhianat. Pilihan Aceh hanya dua, melawan riba atau binasa karenanya. Tutup pintu pinjol, buka akses halal. Lawan sekarang, sebelum Aceh benar-benar “meupunjot”.
Baca juga: Propaganda Hitam Medsos: Syariah Diserang, Riba Dibela
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Prof-M-Shabri-A-Majid-Ketua-Dewan-Syariah-Aceh.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.