Putri DI Panjaitan Ungkap Kesaksiannya Saat G30S/PKI: Ayah Ditarik Kasar dan Ditembak di Dahi
Saat melihat ke luar jendela dari kamarnya di lantai dua, Catherine melihat puluhan orang berseragam tentara telah mengepung rumahnya.
Saat itu DI Panjaitan sedang sibuk menghubungi beberapa pihak hingga kemudian sang istri, Marieke Pandjaitan yang menjawabnya.
"Ibu saya bilang 'Ya pakai pakaian dulu'," imbuh Chaterine.
Usai memakai seragam lengkap, DI Panjaitan turuh ke bawah dari lantai dua kediamannnya.
Sebelum turun, ia sempat memandang wajah sang buah hati.
Baca: Seorang Pemuda Mengamuk dan Pecahkan Pintu Kaca Kantor Disdukcapil Pidie
Chaterine yang berusia 17 tahun saat itu mengungkapkan ingin menemani sang ayah ketika beranjak ke lantai bawah.
Meski demikian, keinginannya itu dilarang oleh DI Panjaitan.
"Menurut rekonstruksi, mereka menarik ayah saya secara paksa keluar," imbuhnya.
Seorang berseragam hijau dan topi baja berseru, "Siap. Beri hormat".
Namun, DI Panjaitan hanya mengambil topi dan mengapitnya di ketiak kiri.
Adanya aksi itu, si tentara memukul Panjaitan dengan gagang senapan dan kemudian jatuh.
"Saya naik ke balkon mau lihat apa kelanjutannya, saya lihat ayah saya disuruh hormat terhadap perwira. Ayah saya tidak mau dan langsung dipukul," sambungnya.
Baca: Cerita Keluarga DN Aidit Setelah Peristiwa G30S/PKI: Adik Ditahan di Pulau dan Ayah Ditemukan Tewas
Chaterine menegaskan, DI Panjaitan jatuh ketika dipukul dan dirinya lari turun ke bawah untuk melihat kelanjutan peristiwa itu.
Namun, sesampainya di lantai bawah kediamannya, Chaterine mengatakan sosok DI Panjaitan sudah tak ada lagi.
"Ternyata ditembak di dahinya tapi pas saya turun udah enggak ada lagi. Ayah saya diseret dan dilempar lewat gerbang karena gerbang dikunci. Dilempar seperti binatang," jelasnya.
Jenazah DI Panjaitan itu dibuang ke dalam sumur di kawasan Lubang Buaya.