Opini

‘Kain Surga’ Miftahul Jannah

MIFTAHUL Jannah, atlet judo putri Indonesia asal Aceh, akhirnya didiskualifikasi dari ajang Asian Para Games 2018

Editor: bakri
Instagram @nahrawi_imam
Altet blind judo Indonesia Miftahul Jannah dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi 

Oleh Teuku Zulkhairi

MIFTAHUL Jannah, atlet judo putri Indonesia asal Aceh, akhirnya didiskualifikasi dari ajang Asian Para Games 2018, karena menolak melepaskan jilbabnya saat akan bertanding. Baginya, mempertahankan hijab atau jilbab lebih utama ketimbang mengikuti pertandingan olahraga yang diikuti 45 negara Asia itu. Barangkali, sebelumnya tidak terbayang di benaknya akan dilarang bertanding karena jilbabnya. Apalagi, pertandingan itu diselenggarakan di Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia.

Kita bisa membayangkan “hancurnya” hati Miftahul Jannah karena dilarang bertanding, padahal ia telah mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan latihan. Ia barangkali tidak berpikir sama sekali bahwa jilbabnya akan dianggap masalah dalam pertandingan. Namun, melepaskan jilbab sebagai syarat bertanding adalah masalah besar bagi Miftahul Jannah, yang seharusnya tidak terjadi. Faktanya, tak sedikit kaum muslimah yang mengukir prestasi gemilang dalam berbagai cabang olahraga dan bidang lainnya dengan tetap berhijab.

Teladan muslimah
Apa yang dilakukan Miftahul Jannah adalah mempertahankan kemuliaan dan harga diri seorang muslimah. Miftahul adalah teladan muslimah sejati, yang tetap mempertahankan selembar “kain surga” dan melepaskan prestasi duniawi yang mungkin diraihnya.

Allah Swt berfirman, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga) orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan jelbabnya (ke seluruh tubuh mereka). supaya mereka untuk lebih mudah dikenal (sebagai para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka) sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab ayat: 59).

Sehubungan dengan itu, Rasulullah saw suatu ketika juga menjelaskan kepada Asma. “Wahai Asma, sesungguhnya wanita jika sudah baligh, maka tidak boleh tampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan ke muka dan telapak tangan).” (HR. Abu Daud).

Akan tetapi orang-orang yang tidak memahami harga diri dan kemuliaan “kain surga” itu mungkin akan mencibir Miftahul, karena dianggap lebih mementingkan jilbabnya ketimbang bertarung demi “Merah Putih”. Itu adalah pemikiran sekuler yang memisahkan dunia dengan akhirat. Seharusnya, membela Merah Putih tidak perlu dipertentangkan dengan kewajiban Miftahul menjaga “kain surga”-nya itu. Akan tetapi tidak semua orang memahami pentingnya menaruh hormat terhadap perintah Sang Pencipta, yaitu Allah Swt.

Kenapa jilbab Miftahul Jannah, dan juga jilbab kaum muslimah lainnya kita anggap sebagai “kain surga”? Memakai jilbab bagi seorang muslimah adalah bukti bahwa ia memiliki loyalitas yang tinggi kepada Sang Pencipta Alam Semesta ini, yaitu Allah Swt. Dan menolak meninggalkan jilbab berarti Miftahul Jannah telah menolak takluk kepada makhluknya yang memang lemah dan tidak ada apa-apanya.

Allah Swt telah memerintahkan perempuan beriman agar menutupi auratnya. Ya, perintah menutupi aurat itu datang dari pemilik Alam Semesta ini. Pemilik dunia dan seisinya. Pemilik syurga dan neraka. Pemilik jiwa setiap hamba. Dialah pencipta semua yang bernyawa dan yang tidak bernyawa. Dialah Dzat yang kekal dan abadi. Semua tunduk kepada-Nya. Kepada-Nya tempat kita kembali. Dialah yang bisa memberikan keampunan atas dosa-dosa kita.

Kita yakin, Miftahul Jannah tidak mau melepaskan jilbabnya karena tahu siapa yang telah memerintahkan menutup aurat kepada Miftahul dan seluruh muslimah lainnya. Maka Miftahul tidak mau melepaskannya. Nama Nama Miftahul Jannah sendiri dalam bahasa Indonesia berarti “kunci surga”. Maka namanya telah sesuai dengan apa yang dilakukannya. Ia tahu, Allah Swt adalah Zat yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Zat yang semua manusia butuh kepada perlindunganNya.

Memahami kemuliaan
Miftahul Jannah, meskipun ia adalah wanita yang memiliki keterbatasan dari segi fisik, tapi orang tua dan gurunya telah berhasil mendidiknya untuk tahu bahwa auratnya tidak boleh dibuka, hukumnya haram. Ia tahu bahwa auratnya meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Mungkin, alasan penting kenapa Miftahul tidak mau melepaskan jilbabnya adalah karena ia memahami kemuliaan dan pahala yang dijanjikan Pemilik Alam Semesta ini bagi muslimah yang menutupi auratnya. Miftahul mungkin juga sangat memahami konsekuensi dosa karena membuka aurat, melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah Saw bersabda “Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu: Pertama, kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang (penguasa yang kejam); Kedua, perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung kepada perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain kepada perbuatan maksiat, rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan boleh masuk syurga, serta tidak dapat akan mencium bau syurga. Padahal bau syurga itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim).

Hadis ini memberikan gambaran ancaman yang mengerikan kepada siapa saja kaum perempuan yang membuka auratnya. Maka kita berharap jejak Miftahul diikuti para kaum muslimah lainnya. Miftahul telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang muslimah dari Aceh, tanah mulia dimana syariat Islam diberlakukan di sini. Pada saat yang sama, di luar sana banyak saudara kita lainnya yang belum mengikuti jejak Miftahul. Menjual aurat untuk kepentingan duniawi. Maka Miftahul sudah seharusnya dijadikan teladan kaum muslimah.

Kita berharap bagi saudara kita yang masih membuka aurat agar mengikuti jejak Miftahul Jannah. Bukan saja menutup aurat adalah perintah Islam yang mesti dijalankan setiap pribadi yang mengaku muslim atau muslimah, namun juga ia merupakan identitas kita masyarakat Aceh, di mana Islam telah kita warisi secara turun-temurun. Sudah seharusnya Aceh dengan para putra dan putri terbaiknya, senantiasa memberikan keteladanan bagi republik ini.

Para endatu kita dulu telah berjuang menyiarkan Islam ke berbagai penjuru Nusantara. Dan tugas kita sekarang adalah meneruskan perjuangannya, minimal dengan menjaga nilai-nilai Islam yang telah sekian lama ditanamkan orang tua, guru-guru dan masyarakat kita. Kita berterima kasih kepada Ustaz Adi Hidayat yang dikabarkan akan memberikan hadiah umrah bagi Miftahul Jannah dan sekeluarganya. Semoga dapat mengobati luka hati Miftahul.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved