Opini

Hak dan Kewajiban Pasien

BERITA “Pasien Meninggal Usai Disuntik” (Serambi, 21 Oktober 2018), begitu menggugah rasa empati dan keprihatinan kita terhadap dunia kesehatan

Editor: hasyim
KASAT Reskrim Polres Aceh Barat, Iptu M Isral (kiri) didampingi KBO Reskrim dan Kanit Resmob memperlihatkan barang bukti jarum suntik dan infus terkait kasus meninggalnya seorang anak di RSUD Cut Nyak Dhien, Meulaboh, Sabtu (20/10). 

Catatan medik
Menurut Veronika Komalawati, keharusan adanya informed consent secara tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medik dilakukan di sarana kesehatan, seperti rumah sakit atau klinik, karena erat kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (medical record). Dengan demikian, rumah sakit turut bertanggung jawab apabila tidak terpenuhinya persyaratan informed consent, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administrasi.

Dan, Menurut Soejatmiko melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medik merupakan satu keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya tuntutan malpraktek pidana karena kecerobohan.

Dokter atau perawat sebagai tenaga kesehatan, sangat perlu memahami adanya landasan hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dan pasien. Mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien, serta hak dan kewajiban dokter atau perawat, merupakan hal sangat penting, karena dinamika kehidupan masyarakat terus berkembang pada aspek kesehatan, sehingga terkadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter. Kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur pidana. Dalam hukum pidana dikenal kata schuld, yang mengandung selain dari dolus dan kesalahan dalam arti yang lebih sempit adalah culpa, merupakan unsur esensial dalam suatu tindakan pidana, agar dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.

Menurut Jan Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana mengatakan, bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Ihwal culpa di sini, jelas merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara nyata (terlebih dulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang tersebut.

Sedangkan menurut Oemar Sono Adji, kesalahan culpa, misalnya mengandung 2 (dua) unsur atau persyaratan, yaitu: Pertama, kurang hati-hati, kurang waspada, (voorzichtig); Dan, kedua, kurang menduga timbulnya perbuatan dan akibat (voorzien).

Sehingga suatu hubungan kausal yang lebih merupakan kesalahan profesi dokter, karena tidak memenuhi kewajibannya, dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Dokter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian dan atau kematian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan, pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum kedokteran (medical liability).

Dokter tidak dapat berdalih dengan perbuatan tidak sengaja, sebab kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian terhadap pasien, maka pasien atau keluarganya berhak menggugat ganti rugi dan atau diproses secara hukum pidana. Jadi, dapat digarisbawahi bahwa apa pun tindakan yang akan dilakukan dokter atau perawat terhadap pasien menyangkut tugas dan profesinya sebagai dokter, harus tetap memperhatikan aturan hukum (guidance of law) yang berlaku. Semoga!

Erlizar Rusli, S.H, M.H., praktisi hukum dan pemerhati sosial, alumnus SMA Negeri 1 Bireuen.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved