Kilas Balik Milad GAM
Akhir Perjalanan Hidup Sang Deklarator GAM Teungku Hasan Tiro
Kepulangannya pada tahun 2008 itu ternyata menjadi akhir dari perjuangannya di organisasi GAM. Pada 3 Juni 2010 Hasan Tiro meninggal.
Penulis: Ansari Hasyim | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Sejak kecil Hasan Tiro sosok yang brilian. Pada masa mudanya ia juga banyak menulis.
Beberapa karyanya, antara lain, buku berjudul Drama and Legal Status of Acheh Sumatra.
Selain itu ia juga menulis The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan di Tiro.
Buku setebal 226 halaman itu merupakan cacatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979.
Di buku itulah ia menukilkan kepulangannya kembali ke Aceh pada 1976, setelah 25 tahun tinggal di Amerika Serikat.
Namun, sosok Hasan Tiro tidak selamanya mengobarkan semangat perlawanan terhadap Pemerintah RI.
Ia ternyata juga sosok yang sangat nasionalis. Beberapa literatur menyebutkan, pada masa remajanya Hasan Tiro pernah menjadi penggerek bendera Merah Putih, di sebuah tempat di Lamlo (dulu bernama Lamulo), tak jauh dari rumahnya.
Setelah itu ia merantau ke Bireuen dan Yogyakarta. Ia sempat menjadi orang kepercayaan Waperdam Sjafruddin Prawiranegara, lalu dikirim Pemerintah Indonesia menjadi staf Atase Penerangan di Kantor Peroetoesan Tetap Pemerintah Republik Indonesia (PTRI) di New York, AS.
Di kota tempat PBB bermarkas itu pula ia menamatkan program doktor pada Columbia University.
Lalu, Hasan Tiro menerima penunjukan dirinya oleh Tgk Daud Beureueh (tokoh penggerak DI/TII) sebagai Duta Besar Darul Islam Aceh yang berkuasa penuh untuk PBB. Namun, Sekjen PBB menolak penyerahan mandat itu.
Hasan Tiro berkenan menerima mandat berisiko itu setelah ultimatumnya kepada petinggi Indonesia, Ali Sastroamidjojo, pada 1 September 1950, agar menindak serdadu yang menembaki 192 penduduk sipil di kawasan Pulot Cot Jeumpa, Aceh Besar, dan mengakui tindakan itu sebagai genosida, tidak digubris. Paspor diplomatiknya malah dicabut Ali Sastro.
Hasan Tiro sempat terkatung-katung sebagai sosok tanpa kewarganegaraan (stateless), sampai akhirnya ada dua senator AS yang menjamin dan membayar denda untuk menebusnya. Ia kemudian beroleh status permanent resident di New York.
Setelah "patah arang" dengan Pemerintah Indonesia, saat masih bermukim di Amerika Serikat, Hasan Tiro pun mengentalkan tekadnya untuk mendeklarasikan Aceh Merdeka. Ia kembali ke Aceh tahun 1975, dan setahun kemudian, setelah mendapatkan sejumlah pengikut, Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunung Halimon, Pidie, pada 4 Desember 1976.
Tak banyak yang tahu mengapa tanggal 4 Desember ia pilih sebagai tanggal proklamasi. Ternyata, untuk mengenang tanggal pemakaman Tgk Syaikh Ma'at Ditiro bin Tgk Mat Amin, cucu Tgk Chik Ditiro, yang meninggal pada 3 Desember 1911 akibat ditembak serdadu Belanda.
Ma'at Ditiro mengikuti jejak ayahnya, Tgk Mat Amin, yang juga lebih memilih mati syahid (tahun 1896) ketimbang menyerah kepada penjajah, Belanda.