Ini Pesan Hasan Tiro Suatu Ketika, Siapa yang Akan Memimpin Jika Dirinya Tiada

Hasan Tiro ke luar negeri sampai akhirnya menetap di Stockholm, Swedia bersama elite-elite pendiri GAM di masanya

Penulis: Subur Dani | Editor: Muhammad Hadi
Kolase Serambinews.com/Scren Shoot Buku The Price of Freedom (Haikal Afifa)/Foto M Anshar
Hasan Tiro dan Scren Shoot Buku The Price of Freedom 

Pada suatu ketika, menurut Dr Husaini Hasan, Hasan Tiro pernah menitipkan pesan atau amanah tentang siapa yang akan memimpin perjuangan jika dirinya meninggal dunia.

Dr Husaini Hasan yang diwawancarai Serambinews.com  di Banda Aceh, Selasa (11/12/2018) mengakui adanya pesan tersebut. 

Baca: Global Wakaf Rangkai Kemanfaatan, Segerakan Kebaikan

“Iya. Bahwa dulu kami membuat siapa yang akan memimpin perjuangan jika wali tak ada.  Hierarkinya menurut kepemimpinan, pertama ada nama dr Mukhtar Hasbi, kemudian Tgk Ilyas Leubee, lepas itu saya, sesudah giliran saya ada dr Zaini Abdullah, lalu ada nama Zubir Mahmud. Sampai itu saja,” katanya.

Sementara itu, peneliti Hasan Tiro, Haikal Afifa menyebutkan, pesan Hasan Tiro terkait kelanjutan kepemimpinan itu adalah “Dekrit Keramat” Wali Negara Aceh, Tengku Hasan di Tiro.

Dia menuliskan hal itu di halaman Facebooknya pada Rabu (12/12/2018).

Menurutnya, banyak pihak bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang akan menggantikan tugas Wali Negara Aceh Tengku Hasan Muhammad di Tiro baik saat beliau berhalangan maupun ketika beliau tiada. 

“Secara resmi, kala kabinet Aceh Merdeka sudah terbentuk, Wali Neugara mengeluarkan surat keputusan penting terkait hal ini,” tulisnya.

Baca: Akhir Perjalanan Hidup Sang Deklarator GAM Teungku Hasan Tiro

“Surat Keputusan atau ‘Dekrit Wali Negara Aceh’ ini setau saya belum pernah dibatalkan, baik dalam rapat-rapat penting GAM maupun dalam Deklarasi Stavanger di Norwegia pada 21 Juli 2002,” katanya.

Sehingga, banyak pihak terjebak menempatkan narasi sejarah penting Aceh khususnya tugas dan fungsi yang akan menggantikan sang Wali. 

Haikal menuliskan, keputusan ini dikeluarkan oleh Tengku Hasan pada Tanggal 15 Maret 1979 di Camp Bateë Iliëk II. Camp terakhir (Camp ke-41) sejak kepulangan Tengku Hasan di Tiro ke Aceh pada tahun 1976. 

“Dari Camp inilah, beliau memimpin rapat dan upacara terakhir Aceh Merdeka sejak kepulangannya ke Aceh. Karena, 13 hari sesudah itu (28 Maret 1979) beliau berangkat ke luar negeri melalui perairan Batëe Iliëk,” tulis Haikal lagi.

Baca: Kirim Surat Terbuka ke Jokowi, Kelompok Bersenjata Papua: Tuan Presiden, Perang Tidak Akan Berhenti

Di camp ini juga, semua anggota staf Aceh Merdeka menerima seragam militer yang diberikan oleh beberapa orang di Keude Djeunib. 

Menurut Haikal, dalam catatan Aceh Merdeka, Batée Iliëk memiliki sejarah penting.

Karena, di sana adalah tempat bersejarah perang dahsyat antara Aceh dan Belanda pada tahun 1905. Belanda kala itu di bawah kepemimpinan Van Heutz. 

Haikal menjelaskan, Dalam versi asli buku The Price of Freedom: the unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro (Koleksi Leiden) terbitan 1982.

Baca: Massa Bakar Mapolsek Ciracas Diduga Terkait Pengeroyokan Anggota TNI, Ini Tanggapan Kodam Jaya

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved