Kupi Beungoh

Pendekatan Militer sebagai Resolusi Konflik di Papua, Tidakkah Pemerintah Belajar dari DOM Aceh?

Dua konten dalam satu konteks yang sama dituturkan oleh dua orang yang turut melewati konflik dan resolusi konflik di Aceh.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Hand Over
Peneliti Centre of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS), Ulta Levenia, bersama anak-anak di Papua. 

Jika dibandingkan dengan GAM, OPM lebih minim dukungan internasional, walaupun kekerasan militer dan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Aceh juga terjadi di Papua, tanpa memandang jumlah korban, adalah indikator eskalasi pelanggaran.

Temuan Amesty Internasional pada tahun 2018, terdapat 95 korban dari 69 kasus pembunuhan di luar hukum yang tercatat atau terpantau di Papua.

Minimnya akses internasional terhadap kasus di Papua, karena hingga tahun 2015 pemerintah melarang jurnalis asing untuk mendatangi Papua, meskipun kemudian di buka tetap harus memiliki izin tertentu dan diawasi oleh aparat keamanan.

Saat ini, dukungan, relasi, dan atensi aktor internasional dan OPM masih tergolong minim.

Hal ini juga dengan ukuran dan momen yang mendukung, artinya dukungan, relasi, dan atensi baik antara OPM atau Indonesia dan kelompok internasional merupakan hubungan dinamis berjangka.

Selama Indonesia masih mampu menjaga dominasi spektrum hubungan internasional dengan negara-negara yang berpotensi mampu memberikan dukungan terhadap internasionalisasi isu Papua, maka atensi internasional masih terpaku pada perspektif penanganan extra-ordinary crime yang diterapkan terhadap OPM.

Peneliti Centre of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS), Ulta Levenia, bersama anak-anak di Papua.
Peneliti Centre of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS), Ulta Levenia, bersama anak-anak di Papua. (SERAMBINEWS.COM/Hand Over)

Baca: Kirim Surat Terbuka ke Jokowi, Kelompok Bersenjata Papua: Tuan Presiden, Perang Tidak Akan Berhenti

Kemudian, mengulas respon Jusuf Kalla yang menuturkan bahwa, jika OPM menuntut kemerdekaan karena merasa dieksploitasi oleh pemerintahan Indonesia dan PT. Freeport Indonesia, maka hal tersebut adalah salah.

Nyatanya pemerintahan Jokowi-Kalla memulai proyek infrastruktur besar-besaran dengan menggelontorkan APBN sebesar Rp 100 triliun yang mana pada pemerintahan sebelumnya tidak pernah dilakukan.

Sedangkan PT Freeport Indonesia hanya menyumbang sekitar Rp 10 triliun kepada pemerintah pusat.

Pada perspektif Pemerintah Indonesia, pendekatan pertumbuhan ekonomi akan efektif mengurangi resistensi rakyat Papua untuk merdeka.

Namun kenyataannya hal ini adalah hal ini merupakan upaya yang terlambat tetapi tidak sia-sia.

Pembangunan infrastruktur dengan tujuan pertumbuhan ekonomi di Papua dinilai oleh OPM bukanlah untuk rakyat Papua (pribumi) dan dinyatakan tidak akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Papua.

Hal ini beberapa kali diulang-ulang oleh juru bicara OPM Sebby Sambom.

Sambom tidak sepenuhnya salah, dan pemerintah tidak sepenuhnya benar.

Sambom menyatakan hal tersebut dengan berdasarkan kenyataan bahwa lahan-lahan dan sumber daya yang menjadi fondasi perekonomian rakyat Papua pada umumnya dikuasai oleh pendatang.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved