Ilmuwan Muslim Al-Jahiz Temukan Teori Evolusi 1000 Tahun Sebelum Charles Darwin

Melalui bukunya yang terbit tahun 1859, On the Origin of Species, Darwin mendefinisikan evolusi sebagai 'proses munculnya variasi keturunan'.

Editor: Fatimah
popsci.com
Melalui bukunya yang terbit tahun 1859, On the Origin of Species, Darwin mendefinisikan evolusi sebagai 'proses munculnya variasi keturunan'. 

Gagasan Al-Jahiz mempengaruhi pemikir Muslim lain yang hidup setelah eranya.

Baca: AHY Sampaikan 14 Program Prioritas Partai Demokrat di GOS Meulaboh

Karya al-Jahiz dikonsumsi oleh al-Farabi, al-Arabi, al-Biruni, dan Ibn Khaldun.

Melalui beberapa buku yang diterbitkan tahun 1930, bapak spiritual Pakistan, Muhammad Iqbal, yang dikenal luas sebagai Allama Iqbal, menilik peran al-Jahiz bagi masyarakat.

Iqbal menulis, "al-Jahiz adalah orang yang menyebut bahwa evolusi yang dialami binatang disebabkan migrasi dan pengaruh lingkungan."

Baca: Maudy Ayunda Diterima di Stanford University dan Harvard University

Teori Mohammed

Kontribusi dunia Islam terhadap teori evolusi bukanlah sesuatu yang tak diketahui para pemikir Eropa abad ke-19.

Faktanya, ilmuwan seangkatan Darwin, William Draper, pernah berbicara tentang teori evolusi Muhammed tahun 1878.

Bagaimanapun, belum ada bukti bahwa Darwin familiar dengan karya al-Jahiz.

Tak ada pula yang mengetahui apakah Darwin memahami bahasa Arab.

Penyelidik alam asal Inggris itu berhak menerima reputasi sebagai ilmuwan yang menghabiskan waktu bertahun-tahun menjelah dan meneliti alam.

Darwin juga layak diakui sebagai penemu teori yang belum pernah ada sebelumnya, yang rincian dan kejelasannya mengubah cara kita memandang dunia.

Namun wartawan bidang ilmu pengetahuan, Ehsan Masood, yang membuat serial dokumenter untuk Radio BBC berjudul Islam and Science, menyebut kita harus mengingat orang-orang yang juga berkontribusi pada gagasan evolusi.

Baca: Aceh Tertinggi Kasus Stroke

Kreasionisme

Massod berkata, teori kreasionisme yang menentang gagasan evolusi tidak muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika Baghdad dan Basra merupakan pusat ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam.

"Ilmuwan tidak menghabiskan waktu berjam-jam menguji kitab-kitab wahyu dan membandingkannya dengan pengetahuan empiris tentang alam," tulis Massod dalam koran Inggris, The Guardian.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved